Rabu, 28 Januari 2015

PERAN PUSTAKAWAN DI ERA DIGITAL

  


 Perubahan teknologi informasi yang dimotori oleh penemuan sistem interconnection network atau biasa disingkat internet telah memberi pengaruh besar terhadap berbagai sektor kehidupan. Paradigma tentang sistem informasi yang semula dibatasi oleh ruang dan waktu telah berubah secara drastis. Batasan fisik terhadap model informasi dan komunikasi menjadi bias. Internet sebagai suatu sistem global dari seluruh jaringan komputer yang saling terhubung telah menghadirkan persepektif peradaban baru yaitu dunia maya. Suatu dunia yang dianggap mampu mengakomodir segala kompleksitas dan diversifikasi kebutuhan  manusia terhadap akses informasi yang lebih cepat dan mudah.
Sejalan dengan ekspektasi masyarakat terhadap perkembangan teknologi informasi, institusi  perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan informasi yang dapat diakses kapanpun dan dari manapun dalam waktu bersamaan. Deskripsi perpustakaan yang semula hanyalah sebatas kumpulan informasi dalam  media kertas dengan sistem layanan lokal telah bergeser sejak digunakannya teknologi internet berbasis data digital yang mampu diakses kapanpun, dimanapun dan dalam waktu yang bersamaan. Perkembangan ini berimplikasi pada tuntutan agar perpustakaan berorientasi pada peningkatan kualitas layanan berbasis kepuasan pengunjung, yaitu cepat, tepat, mudah, dan murah.

Selengkap apapun koleksi suatu perpustakaan, jika pustakawan kurang responsif terhadap perkembangan teknologi informasi yang berkembang maka dikhawatirkan akan menyebabkan pemustaka enggan berkunjung ke perpustakaan karena informasi yang dibutuhkan cukup diakses melalui media internet di rumah.  Perpustakaan jika diibaratkan  sebagai perusahaan, maka bahan koleksi  adalah produk yang dijual, pemustaka adalah customer dan pustakawan adalah marketer-nya. Suatu perusahaan  akan log out  jika tidak memiliki customer. Apapun layanan jasa yang ditawarkan oleh perpustakaan harus diawali dan berorientasi kepada kebutuhan pemustaka.

Pergeseran peran pustakawan pada penerapan konsep perpustakaan digital ini menuntut  Pustakawan supaya memiliki kemampuan manajerial untuk membentuk  sumber data digital, preserfasi dan mengkoordinasikan ketersediaan data yang dibutuhkan bagi pemustaka. Oleh karenan itu kedepannya eksistensi Pustakawan akan dinilai  dari  kemampuannya  untuk menghubungkan  Pemustaka dengan sumber informasi digital yang dibutuhkan.

Senin, 19 Januari 2015

Akhir Hidup Sang Penemu Kertas


Transformasi keilmuan melalui media buku tidak lepas dari perkembangan teknologi kertas. Adalah Tsai Lun, seorang Kasim pada masa Dinasti kekaisaran Han Hedi ( Dinasti Han) pada tahun 105 m yang mewakili cina memberikan sumbangan penemuan kertas bagi peradaban manusia. Walaupun pada akhirnya Tsai Lun mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri menenggak racun lantaran malu akibat penghianatannya terhadap istana terbongkar, namun setidaknya karena penemuannya itulah peradaban manusia tidak lagi menulis di atas kulit hewan, batu, ataupun kayu. #KIMV

Sabtu, 10 Januari 2015

KISAH PARA PENCURI BUKU

DI JALAN Juanda, Jakarta Pusat, pernah berdiri dua toko buku: Kolf dan van Dorp. Konon, Chairil Anwar dan Asrul Sani sering melancong ke sana. Suatu hari tampak buku Nietzsche terpajang di rak.

“Wah, itu buku mutlak harus dibaca!” seru Chairil kepada Asrul. Niat nakal pun terbit. Melihat Chairil bercelana komprang dengan dua saku lebar, Asrul menyuruhnya mencuri, sementara ia mengawasi si penjaga toko.

Mereka berhasil keluar dari toko mengantongi buku curian.
“Deg-degan setengah mati,” kenang Asrul. Namun terkejutlah mereka, ternyata mereka salah mengambil Injil, bukan buku Nietzsche, yang memang sama-sama nangkring di rak buku agama. Asrul dan Chairil pulang dengan dongkol.

Pasangan sahabat penyair dan dramawan ini mungkin tak menyangka puluhan tahun kemudian seorang pemuda terinspirasi ulah mereka. Namanya Ahmad, 32 tahun, yang minta profesinya ditulis sebagai tukang tanya. Kala itu Ahmad masih kuliah di sebuah universitas di Bandung. Bersama seorang kawan ia masuk ke ruang dosen, melihat ada buku karangan Dr. Sun Yat Sen berjudul San Min Chui.

“Buku itu berdebu. Tampak tak pernah dibaca lagi,” ingatnya. Ringkasnya, buku berbahasa Inggris terbitan 1925 tentang perjuangan nasionalis Cina itu segera berpindah tangan.
“Sebetulnya tak ada niat ambil buku itu. Kebetulan saja lihat, eh ada nama Sun Yat Sen. Ini pasti buku penting.” Ia tahu, buku itu tak akan dikasih kalau diminta, dan kalaupun bisa dipinjam untuk difotokopi, ia juga tak ada uang untuk itu.
“Saya pengen meniru Chairil saja waktu itu. Mau tahu apa rasanya.” Takutkah ia kala itu?
“Pasti, tapi nama Sun Yat Sen membuat saya berani,” jawabnya nakal.

Feransis, 23 tahun, seorang mahasiswa di Bandung, punya cerita sendiri tentang pengalaman mencuri—mungkin lebih tepatnya: rutinitas mencuri. Sebagai spesialis pencuri komik dan buku anak bergambar, ia pernah mencuri banyak buku dalam satu rentang waktu.

“Saat itu saya sedang bermasalah,” Feransis memulai kisahnya. Pelampiasannya: pergi tiap hari ke beberapa toko buku di Bandung, hanya untuk mencuri.
“Awalnya tas saya kosong,” tulisnya di halaman percakapan Yahoo! Messenger, “pulang-pulang penuh.” Usai beraksi, iseng ia hitung hasil buruannya. Feransis baru sadar nilai rupiah buku-buku yang ia curi dalam beberapa hari itu mencapai lebih dari 1,5 juta!

Kisah lain datang dari Berto, 26 tahun. Mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini memilih rumah temannya dan perpustakaan kampus sebagai tempat buruan favoritnya. Namun pengalamannya mencuri buku justru berawal di sebuah pameran buku di Istora Senayan pada 2004. Dalam keadaan ramai pengunjung, buku karya Utuy Tatang Sontani menjadi sasarannya.

“Kebetulan penjualnya sedang melayani yang lain,” tuturnya. Pernah juga ia mencuri di Galeri Buku Bengkel Deklamasi milik dramawan Jose Rizal Manua di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
“Kumpulan puisi lama. Jakarta dalam Puisi, seingat saya,” ujarnya. Buku itu sekarang entah di mana. “Kebawa teman saya, kali.”

Demikianlah, bagi sebagian penggila buku, mencuri buku sudah tak terhindarkan lagi. Obsesi atas buku membuat mereka rela melakukan apa saja, termasuk mencuri. Motifnya beragam dan ada-ada saja. Mulai dari minimnya kemampuan kantung, demi keuntungan ekonomi, sampai bertingkah atas nama emosional: menyelamatkan buku, atau kebanggaan memilikinya lewat cara mencuri. Hasrat memiliki buku seringkali tak berbanding lurus dengan isi dompet.

“Pengen punya tapi nggak ada uang,” aku Feransis. Sulitnya menemukan suatu buku tertentu juga menjadi dalih mencuri. Alasan Ahmad malah sedikit berbumbu teori,
“Pertama, buku itu tak dibaca orang-orang; dan kedua, apa yang saya kerjakan ini juga untuk orang banyak.” Sebagai apologi atas aksi-aksi mereka, Berto malah berujar nyinyir,
“Daripada nggak dibaca kan?”

Asosiasi Pedagang Buku Antik Amerika, di situsnya (www.abba.org  (www.abba.org)) sampai perlu merumuskan lima kategori pencuri buku—mungkin saking bejibunnya pencuri buku berkeliaran. Yaitu:
(1) Kleptomania yang tak bisa menahan diri;
(2) Pencuri demi meraih keuntungan;
(3) Pencuri karena marah;
(4) Pencuri biasa; dan
(5) Pencuri untuk digunakan sendiri.

Asosiasi-asosiasi pedagang buku, selain bertujuan membangun jaringan bisnis, juga bisa dibaca lain: kerjasama meringkus pencuri buku. Ya, wajar saja karena di bumi ini pernah hidup orang-orang seperti John Gilkey dan William Jacques. Keduanya pencuri buku tenar. Incarannya tak sembarangan, yakni buku-buku kuno dan langka bernilai tinggi yang hanya ada di tempat-tempat prestisius di dunia.

Gilkey, asal Amerika, seorang penggila buku yang bekerja sebagai pegawai toko pakaian mewah. Salah satu modusnya, membeli buku memakai kartu kredit para pelanggan tokonya. Malam harinya, ketika toko buku yang dipesannya hendak tutup, ia datang berpura-pura sebagai pesuruh si pembeli buku. Meski berujung bui, Gilkey tak pernah kapok, dan aksinya malah membuatnya terkenal. Allison Hoover Bartlett, seorang jurnalis, membukukan kisah Gilkey dalam The Man Who Loved Books Too Much.

Di Inggris, William Jacques juga tak kalah gila. Dari Oktober 1996 hingga Mei 1999, sekitar 500 buku langka ia curi dari Cambridge Library, British Library, dan London Library. Buku-buku itu lalu dijual di berbagai rumah lelang di Inggris dan luar negeri, membuat ia lebih kaya ratusan ribu poundsterling. Karena sepak terjangnya, Jacques pernah dipenjara beberapa kali dan dijuluki Tome Rider.

Cerita-cerita tadi mengesankan betapa mereka yang berhasil mencuri dengan mulus pada pengalaman pertamanya cenderung ketagihan dan berlanjut pada aksi berikutnya. Feransis, pertama beraksi saat duduk di bangku SMP, mengiyakan ketagihannya. Ketika itu ia mencuri majalah. Selain karena perpustakaan sekolahnya sedang kosong, motifnya timbul lantaran gambar grup musik Kiss di sampul belakang.
Sementara Ahmad dengan dingin menjawab, “Nggak juga. Saya bukan maling.”

Sukses beraksi tak berarti rasa takut sudah lenyap dari diri mereka. Feransis mengaku ketakutan saat beraksi di pameran buku di Senayan yang ramai oleh pengunjung maupun penjaga. Meski demikian, ia tetap berhasil menggondol pulang komik Hell Boy karya Mike Mignola tiga edisi sekaligus: seri 3, 4, dan 5.

“Mau dilengkapi,” jelasnya. Seri 1 dan 2 sudah dimilikinya, hasil curian juga tentunya. Senada dengan itu, Ahmad, pernah mencuri di Perpustakaan Nasional di Jakarta, tak menyangkal kerap dilanda rasa takut kepergok. Tapi dengan jumawa ia berkata,
“Saya nggak berpikir kebanggaan dan semacamnya. Saya fokus di konten.”

Lalu adakah perasaan bersalah setelahnya?
“Semula ada,” jawab Ahmad, “tapi begitu melihat buku itu berdebu, tidak lagi (merasa bersalah). Artinya buku itu jarang dibaca.

”Feransis mengaku kadang-kadang merasa bersalah, “Tapi sering lupa juga.”

Sementara Berto, brengseknya, enteng saja menjawab,
”Ya’elah, satu buku doang di antara beribu buku!”

Maka, Bung, terhadap orang-orang macam Feransis, Berto, dan Ahmad—juga Gilkey dan Jacques— kita tidak usah marah atau mengutuknya. Cukup dengan berhati-hati, dan jauhkan mereka dari koleksi buku Anda. Atau salinlah deretan kalimat Lawrence S. Thompson di Notes On Bibliokleptomania berikut ini, di halaman terdepan setiap buku Anda:


Whoever steals this book
Will hang on a gallows in Paris,
And, if he isn’t hung, he’ll drown,
And, if he doesn’t drown, he’ll roast,
And, if he doesn’t roast, a worse end will befall him

#KMIV https://www.facebook.com/labibahaly +Labibah Zain
================================================
Judul asli: Kebrengsekan yang Saleh, Kesalehan yang Brengsek
Oleh       : Roy Thaniago   (roythaniago.wordpress.com)

Jumat, 09 Januari 2015

My Morning Jacket - Librarian

https://www.facebook.com/rina.j.rianty

Perjalanan Pagi


Semangat pagi menembus keramaian kota Surabaya diiringi alunan lembut raisa dan bersamamu teman hidupku menemani menuju rumah besi panjang stasiun gubeng...waktu masih pagi jam menunjukkan pukul 7.05 tapi hiruk pikuk stasiun seolah membuatku semakin bergairah mengingat satu tujuan menuntut ilmu...barakallah....apalagi kuliah siang ini di awali dosen favorit mata kuliah yg menarik Sistem Informasi Perpustakaan by mister Solihin Ari berlanjut jam kedua mata kuliah yang tak kalah menarik Kajian Internet dan Masyarakat Virtual dengan dosen bernama besar @Labibah yang menurut aku punya energi lebih besar dari tubuh mungilnya dan selalu memberikan inspirasi yg berdampak luar biasa dalam pengembangan perpustakaan di generasi menunduk!!!!....wow sungguh luar biasa sekali. Dikeramaian stasiun bener-bener generasi tablet dan dunia ada di jempol!!!! yang jauh Jd dekat yg dekat Jd tidak omong hahaha edaaann....kalau dulu duduk bersebelahan pasti ngobrol yang tidak penting misal mau kemana...Naik kereta apa...tinggal dimana...kesana ngapain....waahh...pertanyaan yang kadang bikin frustasi karena sebagai perempuan kadang risih kalau ditanya seperti itu dan dimindset harus pasang wajah jutek plus galau biar ga ditanya!!!! Bersyukurlah generasi sekarang...generasi menunduk tidak perlu repot-repot pasang wajah jutek karena tablet atau android telah menyelamatkannya!!!... Tapi pertanyaannya adalah....sampai kapan kamu akan menjadi generasi menunduk dan tidak peka terhadap sekitar...nah itu juga pr buat kita sebagai orangtua terhadap anak-anak kita.. Selamat pagi semuanya..http://www.facebook.com./labibahaly #KIMV +Labibah Zain

Kamis, 08 Januari 2015

5 Perpustakaan Paling Aneh Di Dunia -

Sejauh ini dalam pikiranmu mungkin perpustakaan adalah sebuah tempat yang sangat resmi dan hanya berada di lingkungan pendidikan. Yap, sebagai tempat yang lazimnya menyimpan ratusan sampai ribuan buku, perpustakaan memang menjadi sebuah tempat untuk mencari ilmu. Namun ungkapan bahwa ilmu belajar bisa dilakukan di mana saja sepertinya memang benar-benar berlaku.


Ya, beberapa kawasan di dunia ini bahkan rela membangun perpustakaan yang unik dan lepas dari pakem perpustakaan harus di instansi pendidikan. misalnya adalah membangun perpustakaan di pantai, di mana mayoritas orang-orang berjemur di bawah sinar matahari. Berikut adalah 5 Perpustakaan Paling Aneh Di Dunia seperti yang Dilansir Oddee.com :


1. Di Kotak Telepon Umum



Saat jaringan telekomunikasi British Telecom ingin menggusur box telepon umum mereka yang sangat ikonik itu, para penduduk di bagian selatan Inggris yakni desa kecil bernama Westbury-sub-Mendip langsung beraksi. Mereka rupanya tidak ingin kehilangan kotak berwarna merah yang sangat khas itu. Untuk melancarkan aksinya, para penduduk membangun sebuah perpustakaan terkecil di sana yang seluruh buku dan majalahnya disediakan oleh para sukarelawan.


Bahkan perpustakaan Westbury-sub-Mendip buka untuk 24 jam dengan sebuah lampu kecil di dalamnya. Ada sekitar 100 buku, beberapa keping CD dan DVD yang membuatnya cukup lengkap. Buku-buku yang sudah sering dibaca dan mulai tidak rapi akan diganti dengan cara amal pula. Sungguh, apakah setiap desa dan kota di dunia bisa memiliki perpustakaan seimut ini?.


2. Tank Penuh Buku



Seorang seniman sekaligus aktivis Raul Lemesoff, membangun sebuah karya seni bernama Arma De Instruccion Masiva atau Senjata Pengatur Massa. Mungkin terdengar mengerikan. Namun tahukah kamu seperti apa bentuk senjata itu? Rupanya sebuah tank yang berisi penuh dengan buku. Ada sekitar 900 buku yang ditata sedemikian rupa oleh Raul sehingga menutupi hampir seluruh bodi tank. Seluruh buku itu didapatkan Raul dari sumbangan sukarela. Alasan Raulmembuat karya seni ini adalah dia ingin memberikan kedamaian lewat sebuah bacaan.


3. Lucu di Luar Ruangan




Jika biasanya perpustakaan terletak di dalam gedung yang megah dan besar, maka akan terasa sangat berbeda jika kamu berkunjung ke Ghent, salah satu kota di Belgia sana. Karena di Ghent, dibangun sebuah perpustakaan besar yang tidak berdinding alias ada di outdoor. Perpustakaan bernama Bookyard ini adalah karya seorang seniman Italia, Massimo Bartolini pada tahun 2012 silam. Bartolini mendesain sekaligus membangun dua belas rak berukuran besar dan panjangdi kebun St Peter's Abbey. Uniknya, kamu bisa memilih-milih buku sembari melihat pemandangan yang serba hijau.


4. Perpustakaan Bisa Jalan



Bagaimana jadinya jika orang-orang di kawasan pedesaan dan perbukitan ingin membaca buku ke perpustakaan? Tentu saja tak semua bisa terjadi. Karena kebanyakan perpustakaan memang dibangun di lokasi-lokasi padat penduduk dan lebih di area perkotaan.Namun rupanya Universitas Valle del Momboy ingin mengubah pemikiran itu. Pada tahun 2009, kampus tersebut mencoba menerapkan konsep perpustakaan unik yang tak biasa.


Di mana perpustakaan bergerak itu sengaja diterapkan di kawasan pegunungan Trujillo. Tunggu, perpustakaan bergerak? Ya, karena buku-buku yang ada rupanya dipasang di semacam etalase plastik yang diletakkan di punggung seekor kudaatau bagal. Pernah dengar bagal? Itu adalah hewan yang merupakan keturunan silang kuda betina dan keledai jantan yang mandul.


5. Datang Pakai Bikini



Apa yang kamu ingat dari pantai, Tentu saja hamparan pasir putih dan ombak serta perpustakaan. Hah, perpustakaan? Ya, apa yang kamu baca ini benar. Memang sih pasir, ombak dan perpustakaan adalah kata yang tak mungkin bisa bergabung. Namun bagi Herman Kompernas, semuanya bisa disatukan. Herman rupanya membangun sebuah perpustakaan luar ruangan di pantai pasir Black Sea di Bulgaria yang menjadi bagian dari resort Albena.


Tak tanggung-tanggung, rak-rak buku itu sengaja dibangun di dekat hamparan pasir pantai dan memiliki koleksi lebih dari 2.500 buku dalam 10 bahasa berbeda. Untuk meminjam buku di perpustakaan ini pun gratis.