DI JALAN Juanda, Jakarta Pusat, pernah berdiri dua toko buku: Kolf dan van Dorp. Konon, Chairil Anwar dan Asrul Sani sering melancong ke sana. Suatu hari tampak buku Nietzsche terpajang di rak.
“Wah, itu buku mutlak harus dibaca!” seru Chairil kepada Asrul. Niat nakal pun terbit. Melihat Chairil bercelana komprang dengan dua saku lebar, Asrul menyuruhnya mencuri, sementara ia mengawasi si penjaga toko.
Mereka berhasil keluar dari toko mengantongi buku curian.
“Deg-degan setengah mati,” kenang Asrul. Namun terkejutlah mereka, ternyata mereka salah mengambil Injil, bukan buku Nietzsche, yang memang sama-sama nangkring di rak buku agama. Asrul dan Chairil pulang dengan dongkol.
Pasangan sahabat penyair dan dramawan ini mungkin tak menyangka puluhan tahun kemudian seorang pemuda terinspirasi ulah mereka. Namanya Ahmad, 32 tahun, yang minta profesinya ditulis sebagai tukang tanya. Kala itu Ahmad masih kuliah di sebuah universitas di Bandung. Bersama seorang kawan ia masuk ke ruang dosen, melihat ada buku karangan Dr. Sun Yat Sen berjudul San Min Chui.
“Buku itu berdebu. Tampak tak pernah dibaca lagi,” ingatnya. Ringkasnya, buku berbahasa Inggris terbitan 1925 tentang perjuangan nasionalis Cina itu segera berpindah tangan.
“Sebetulnya tak ada niat ambil buku itu. Kebetulan saja lihat, eh ada nama Sun Yat Sen. Ini pasti buku penting.” Ia tahu, buku itu tak akan dikasih kalau diminta, dan kalaupun bisa dipinjam untuk difotokopi, ia juga tak ada uang untuk itu.
“Saya pengen meniru Chairil saja waktu itu. Mau tahu apa rasanya.” Takutkah ia kala itu?
“Pasti, tapi nama Sun Yat Sen membuat saya berani,” jawabnya nakal.
Feransis, 23 tahun, seorang mahasiswa di Bandung, punya cerita sendiri tentang pengalaman mencuri—mungkin lebih tepatnya: rutinitas mencuri. Sebagai spesialis pencuri komik dan buku anak bergambar, ia pernah mencuri banyak buku dalam satu rentang waktu.
“Saat itu saya sedang bermasalah,” Feransis memulai kisahnya. Pelampiasannya: pergi tiap hari ke beberapa toko buku di Bandung, hanya untuk mencuri.
“Awalnya tas saya kosong,” tulisnya di halaman percakapan Yahoo! Messenger, “pulang-pulang penuh.” Usai beraksi, iseng ia hitung hasil buruannya. Feransis baru sadar nilai rupiah buku-buku yang ia curi dalam beberapa hari itu mencapai lebih dari 1,5 juta!
Kisah lain datang dari Berto, 26 tahun. Mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini memilih rumah temannya dan perpustakaan kampus sebagai tempat buruan favoritnya. Namun pengalamannya mencuri buku justru berawal di sebuah pameran buku di Istora Senayan pada 2004. Dalam keadaan ramai pengunjung, buku karya Utuy Tatang Sontani menjadi sasarannya.
“Kebetulan penjualnya sedang melayani yang lain,” tuturnya. Pernah juga ia mencuri di Galeri Buku Bengkel Deklamasi milik dramawan Jose Rizal Manua di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
“Kumpulan puisi lama. Jakarta dalam Puisi, seingat saya,” ujarnya. Buku itu sekarang entah di mana. “Kebawa teman saya, kali.”
Demikianlah, bagi sebagian penggila buku, mencuri buku sudah tak terhindarkan lagi. Obsesi atas buku membuat mereka rela melakukan apa saja, termasuk mencuri. Motifnya beragam dan ada-ada saja. Mulai dari minimnya kemampuan kantung, demi keuntungan ekonomi, sampai bertingkah atas nama emosional: menyelamatkan buku, atau kebanggaan memilikinya lewat cara mencuri. Hasrat memiliki buku seringkali tak berbanding lurus dengan isi dompet.
“Pengen punya tapi nggak ada uang,” aku Feransis. Sulitnya menemukan suatu buku tertentu juga menjadi dalih mencuri. Alasan Ahmad malah sedikit berbumbu teori,
“Pertama, buku itu tak dibaca orang-orang; dan kedua, apa yang saya kerjakan ini juga untuk orang banyak.” Sebagai apologi atas aksi-aksi mereka, Berto malah berujar nyinyir,
“Daripada nggak dibaca kan?”
Asosiasi Pedagang Buku Antik Amerika, di situsnya (www.abba.org (www.abba.org)) sampai perlu merumuskan lima kategori pencuri buku—mungkin saking bejibunnya pencuri buku berkeliaran. Yaitu:
(1) Kleptomania yang tak bisa menahan diri;
(2) Pencuri demi meraih keuntungan;
(3) Pencuri karena marah;
(4) Pencuri biasa; dan
(5) Pencuri untuk digunakan sendiri.
Asosiasi-asosiasi pedagang buku, selain bertujuan membangun jaringan bisnis, juga bisa dibaca lain: kerjasama meringkus pencuri buku. Ya, wajar saja karena di bumi ini pernah hidup orang-orang seperti John Gilkey dan William Jacques. Keduanya pencuri buku tenar. Incarannya tak sembarangan, yakni buku-buku kuno dan langka bernilai tinggi yang hanya ada di tempat-tempat prestisius di dunia.
Gilkey, asal Amerika, seorang penggila buku yang bekerja sebagai pegawai toko pakaian mewah. Salah satu modusnya, membeli buku memakai kartu kredit para pelanggan tokonya. Malam harinya, ketika toko buku yang dipesannya hendak tutup, ia datang berpura-pura sebagai pesuruh si pembeli buku. Meski berujung bui, Gilkey tak pernah kapok, dan aksinya malah membuatnya terkenal. Allison Hoover Bartlett, seorang jurnalis, membukukan kisah Gilkey dalam The Man Who Loved Books Too Much.
Di Inggris, William Jacques juga tak kalah gila. Dari Oktober 1996 hingga Mei 1999, sekitar 500 buku langka ia curi dari Cambridge Library, British Library, dan London Library. Buku-buku itu lalu dijual di berbagai rumah lelang di Inggris dan luar negeri, membuat ia lebih kaya ratusan ribu poundsterling. Karena sepak terjangnya, Jacques pernah dipenjara beberapa kali dan dijuluki Tome Rider.
Cerita-cerita tadi mengesankan betapa mereka yang berhasil mencuri dengan mulus pada pengalaman pertamanya cenderung ketagihan dan berlanjut pada aksi berikutnya. Feransis, pertama beraksi saat duduk di bangku SMP, mengiyakan ketagihannya. Ketika itu ia mencuri majalah. Selain karena perpustakaan sekolahnya sedang kosong, motifnya timbul lantaran gambar grup musik Kiss di sampul belakang.
Sementara Ahmad dengan dingin menjawab, “Nggak juga. Saya bukan maling.”
Sukses beraksi tak berarti rasa takut sudah lenyap dari diri mereka. Feransis mengaku ketakutan saat beraksi di pameran buku di Senayan yang ramai oleh pengunjung maupun penjaga. Meski demikian, ia tetap berhasil menggondol pulang komik Hell Boy karya Mike Mignola tiga edisi sekaligus: seri 3, 4, dan 5.
“Mau dilengkapi,” jelasnya. Seri 1 dan 2 sudah dimilikinya, hasil curian juga tentunya. Senada dengan itu, Ahmad, pernah mencuri di Perpustakaan Nasional di Jakarta, tak menyangkal kerap dilanda rasa takut kepergok. Tapi dengan jumawa ia berkata,
“Saya nggak berpikir kebanggaan dan semacamnya. Saya fokus di konten.”
Lalu adakah perasaan bersalah setelahnya?
“Semula ada,” jawab Ahmad, “tapi begitu melihat buku itu berdebu, tidak lagi (merasa bersalah). Artinya buku itu jarang dibaca.
”Feransis mengaku kadang-kadang merasa bersalah, “Tapi sering lupa juga.”
Sementara Berto, brengseknya, enteng saja menjawab,
”Ya’elah, satu buku doang di antara beribu buku!”
Maka, Bung, terhadap orang-orang macam Feransis, Berto, dan Ahmad—juga Gilkey dan Jacques— kita tidak usah marah atau mengutuknya. Cukup dengan berhati-hati, dan jauhkan mereka dari koleksi buku Anda. Atau salinlah deretan kalimat Lawrence S. Thompson di Notes On Bibliokleptomania berikut ini, di halaman terdepan setiap buku Anda:
Whoever steals this book
Will hang on a gallows in Paris,
And, if he isn’t hung, he’ll drown,
And, if he doesn’t drown, he’ll roast,
And, if he doesn’t roast, a worse end will befall him
#KMIV https://www.facebook.com/labibahaly +Labibah Zain
================================================
Judul asli: Kebrengsekan yang Saleh, Kesalehan yang Brengsek
Oleh : Roy Thaniago (roythaniago.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar