By: Rina J. R
Pendahuluan
Pendahuluan
Pesatnya perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi sebagai akibat dari gelombang globalisasi,
sesungguhnya merupakan peluang bagi pendidikan di pesantren untuk mengembangkan
dirinya secara lebih baik. Pesantren dituntut untuk mampu menghadapi kondisi
ini dengan berbagai persiapan dan kemampuan yang dimiliki. Globalisasi
menghadirkan sejumlah peluang dan tantangan yang sepenuhnya diserahkan kepada
manusia untuk menyikapinya. Di sinilah kemampuan dan strategi pesantren sebagai
lembaga pendidikan Islam dipertaruhkan, apakah ia mampu mengambil peluang
tersebut untuk kebaikannya ataukah ia malah terjebak dan bahkan kalah dari tantangan
yang dihadapi.
Pendataan
Pondok Pesantren tahun 2011-2012 berhasil mendata 27.230 Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.[1] Sedangkan jumlah sekolah umum (SD,SMP, SMA)
baik negeri maupun swasta di Indonesia berjumlah 182.538.[2]
Dari perbandingan ini berarti jumlah pesantren adalah 14,9 % dari jumlah
sekolah umum.
Kajian
terhadap pesantren sering dilakukan oleh para ahli, karena nuansa-nuansa yang
dilaksanakan dalam pesantren sangat unik. Tidak sedikit para ahli mengeritik
atau juga melihat segi positifnya. Salah
satunya yaitu pesantren sebagai komonitas dan sebagai lembaga pendidikan yang
besar jumlahnya dan luas penyebarannya diberbagai pelosok tanah air. Namun
kritiknya adalah Pesantren sering dianggap kurang mampu menghadapi tantangan
pembangunan dan kurang mampu merespons kebutuhan kaum muda. Meraka dalam
keadaan bingung; mereka lebih tertarik masuk ke pendidikan umum yang
dapat menjanjikan lapangan kerja, tetapi
mereka masih tetap menaruh
harapan kepada pesantren yang dapat menjanjikan moral yang sangat diperlukan dalam mengarungi kehidupan modern.
Biasanya yang membedakan kajian tersebut adalah Obyek,
lokasi dan permasalahan yang diangkat. Salah satu intelektual Islam yang telah
lama mengangkat permasalahan dunia pesantren
adalah Prof. Dr. Prof. Dr.
Mastuhu, M.Ed, M.Ed. dengan kajian yang berjudul Dinamika Sistem
Pendidikan Pesantren sebagai hasil
kerja sama Studi Islam Indonesia-Belanda (Indonesian-Netherlands Cooperation in
Islamic Studies-INIS), pada tahun 1994.
INIS sendiri didirikan
sekitar tahun 1969, ketika kelompok pertama dari 17 dosen Universitas Islam
Negeri Indonesia (Institut Agama Islam Negeri / IAIN) datang ke Belanda untuk
memperluas dimensi pengetahuan mereka tentang studi Islam dengan memanfaatkan
arsip, naskah, dan sumber daya yang ada di perpustakaan negeri Belanda.[3]
Pada kajian
yang dilakukan tampak bahwa Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed, amat menyelami problema dan
dinamika sistem pendidikan pesantren. Ada enam pesantren yang menjadi objek kajian beliau, yaitu: Pondok Pesantren
(PP) An-Nuqoyah desa Guluk-guluk, Kecamatan Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep,
Madura; Pondok Pesantren (PP) Salafiah Ibrahimiyah di desa Sokorejo, Kecamatan
Asembagus, Kabupaten Situbondo; Pondok Pesantren (PP) Blok Agung, desa Agung,
Kecamatan Jajak, Kabupaten Banyu wangi; Pondok Pesantren Tebu Ireng, di desa
Tebu Ireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang; Pondok Pesantren Karangasem
Muhammadiyah Pacitan, di desa Lamongan dan Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor
Ponoroga,
Pada awalnya pesantren
diselenggarakan untuk mendidik santri agar menjadi taat menjalankan agamanya
dan berakhlak mulia. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, santri dituntut
memiliki kejelasan profesi. Maka banyak
pesantren yang membuka pendidikan
kejuruan dan umum dari sekolah, madrasah bahkan perguruan tinggi.[4]
Dari kajian yang termuat pada buku ini kita bisa mengetahui kelebihan dan kekurangan yang ada pada system
pendidikan pesantren. Namun terhadap kekurangan yang ditemukan maka pada bagian akhir
kajiannya Prof. Dr. Prof. Dr.
Mastuhu, M.Ed, M.Ed. memberikan penawaran pada bagian saran di akhir kajiannya,
yang dapat menjadi rekomendasi bagi penyelenggaraan system pendidikan pesantren
di Indonesia, yaitu : pesantren perlu mengadopsi dan mengembangkan wawasan
berfikir keilmuan dari Sistem Pendidikan Nasional, dengan menerapkan metode
berfikir: a) Deduktif, b) Indikatif, c) kausalitas,dan d) kritis.
Sistem
Pendidikan di Pondok Pesantren
Istilah pondok pesantren yang telah melembaga di Indonesia
ini menurut Manfred Ziemek; pondok berasal dari kata funduq yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana. Sedangkan
pesantren berasal dari kata santri
yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat para santri.[5] Selanjutnya Manfred Ziemek mengatakan bahwa:
Pesantren secara ethimologis asalnya pesantrian
yang berarti tempat santri. Santri atau murid (umumnya) sangat berbeda-beda
mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren (Kyai) dan oleh para guru (ulam dan
ustadz), pelajaran mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam.[6]
Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan
istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan
Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di
Minangkabau disebut surau. [7]
Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana
seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan
kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan
para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.
Sebagai suatu komunitas
tersendiri, di mana kiai, ustadz, santri dan pengurus pondok pesantren hidup
bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan
norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda
dengan masyarakat umum yang mengitarinya. Pondok Pesantren juga merupakan suatu
keluarga yang besar dibawah binaan seorang kyai atau ulama di bantu oleh
ustadz, semua rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan :
halal-haram, wajib-sunnah, baik-buruk dan sebagainya itu berangkat dari hukum
agama islam dan semua kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari
ibadah keagamaan, dengan kata lain semua kegiatan dan aktivitas kehidupan
selalu dipandang dengan hukum agama Islam. pondok
pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya
dan menjadi rujukan moral/perilaku bagi masyarakat umum.
Dalam kajiannya digambarkan oleh Prof.
Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed., pesantren
pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau
kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh
kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Karena itu, pesantren tidak
mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Secara historical selama
ini pendidikan pesantren telah terbukti mampu menampilkan diri sebagai
institusi yang tetap eksis dalam menghadapi segala bentuk dinamika perubahan
sosial dengan dua karakter utama budaya pendidikannya yaitu:[8]
1. Karakter budaya yang memungkinkan santri
belajar secara tuntas, tidak hanya terbatas pada transfer ilmu-ilmu
pengetahuan, akan tetapi juga aspek pembentukan kepribadian secara menyeluruh.
2. Kuatnya partisipasi masyarakat. Oleh karena itu
sangatlah wajar sekiranya pesantren kemudian banyak dirujuk, paling tidak pada
awal masa pasca kemerdekaan, untuk dijadikan sebagai acuan alternatif dalam
menghadapi kebuntuan upaya merumuskan sistem perguruan nasional yang tidak
tercerabut dari akar historis ke-Indonesiaan dan juga tidak berkurang efisiensi
dan efektifitasnya.
Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu,
M.Ed, M.Ed. menjelaskan beberapa tehnik didasarkan pada system proses
belajar secara monologis. Tehnik pengajaran yang diberikan pada jenis
pendidikan pesantren adalah sorogan dan bandongan. Kedua teknik belajar ini
sangat popular sehingga menjadi ciri khas pesantren. Sorogan adalah pelajaran yang diberikan secara individual. Kata sorogan berasal dari bahasa jawa sorog yang berati menyodorkan. Seorang santri menyodorkan kitabnya
kepada seorang kyai untuk meminta diajari. Oleh karena sifatnya pribadi, santri
harus menyiapkan diri sebelumnya mengenai apa yang akan diajarkan kyai.
Tehnik sorogan telah terbukti efektif sebagai
langkah pertama bagi seorang murid yang bercta-cita menjadi seorang alim.
Tehnik ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara
maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai literatur Arab. Bandongan adalah
pelajaran yang diberikan secara berkelompok. Kata bandongan berasal dari bahasa jawa yang berarti
berbondong-bondong secara kelompok. Tehnik bandongan disebut juga tehnik wetonan, yaitu metode
kuliah dimana santri mengikiti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang
menerangkan pelajaran.
Dalam tehnik bandongan, seorang
tidak harus menunjukkan ia mengerti tentang kitab yang sedang dipelajari. Para
kyai biasanya membaca dan menerjemahkan arti secara cepat dan tidak
menerjemahkan kata-kata yang mudah. Dengan cara tersebut seorang kyai dapat
menyelesaikan kitab-kitabnya dengan cepat. Tehnik bandongan ini dimaksudkan untuk santri menengah dan tingi yang
sudah mengikuti tehnik sorogan secara
intensif.[9]
Selain kedua
metode tersebut, Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed menyebut hapalan dan halaqah. Dalam
perkembangannya sistem madrasah dan klasikal diterapkan untuk mempermudah
proses pembelajaran sebagai pengembangan dan pembaruan pengajian model sorogan dan weton.
Halaqoh
adalah belajar bersama secara diskusi untuk mencocokkan pemahaman
tentang arti terjemah dari isi kitab. Jadi bukan mendiskusikan isi kitab dan
terjemahnya yang diberikan oleh kyai itu benar atau salah. Maka yang
didiskusikan untuk mengetahui pertanyaan “apa” bukan pertanyaan “mengapa” Lalaran
adalah belajar sendiri dengan jalan menghafal; biasanya dilakukan diman
saja; baik di dekat makam, masjid, atau kamar.
Lalaran ini dapat juga disebut tehnik hafalan yaitu santri menghafal
teks atau kalimat tertentu dari kitab yang di pelajarinya, materi hafalan biasanya
berbentuk nazham. Tehnik-tehnik belajar tersebut berdasarkan pada keyakinan
bahwa kitab yang diajarkan adalah benar dan kyai atau uztad tidak mungkin
megajarkan sesuatu yang keliru dan menyesatkan; jadi sifatnya mekanis, terus
menerus dan secara berurutan (tidak melompat-lompat).[10]
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed juga menggambarkan tentang metode
dan sistem pendidikan pada pondok pesantren, ternyata tidak hanya berkutik pada
metode-metode tradisional saja, akan tetapi pendidikan di pondok pesantren juga
telah menggunakan berbagai metode-metode yang disesuaikan dengan situasi dan
kondisi lembaga pendidikan tersebut, dengan demikian pendidikan pondok
pesantren tidak lagi dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan yang kuno,
bahkan pendidikan yang telah berkembang pada saat ini banyak yang menggunakan
sistem yang digunakan dalam pondok pesantren.
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan
Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu:
1. Kyai
sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri
2. Kurikulum pondok pesantren
3. Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti
masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel
kerja keterampilan.
Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Pondok pesantren"
yaitu:
1. Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
2.
Pengembangan
keilmuan yang bermanfaat.
3.
Pengabdian kepada
agama, masyarakat, dan negara.
Merujuk pada
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi
dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun,
kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran
Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan
pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional
dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang
Sisdiknas
Berikut:
Dalam Pasal 3
UU Sisdiknas dijelaskan bahwa “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.” Ketentuan ini tentu
saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak
lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta
mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada
Allah SWT serta akhlak mulia.
Penjelasan pada Undang-udang Sisdiknas
di atas menunjukkan bahwa system pendidikan
pesantren dan system pendidikan nasional memiliki kesamaan tujuan. Hanya saja
system pelaksanannya terdapat perbedaan. Berikut perbedaan antara keduanya:[11]
A. Sekolah Umum
Kelebihan Sekolah Umum :
1. Kurikulum
a.
Memiliki
kurikulum tetap dan mengikuti perkembangan serta menyesuaikan dengan standar
pendidikan Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
b.
Memiliki
buku ajar yang permanent untuk proses belajar mengajar yang efektif.
c.
Satuan
Pelajaran yang sudah ditetapka menjadi acuan dalam proses belajar mengajar
2. Metode Pengajaran
a.
ceramah,
bermain, praktikum, Tanya jawab dan lain-lain yang disesuaikan dengan bidang
studinya.
b.
Ada
sebagian sekolah mengadakan kegiatan belajar mengajar tidak di dalam kelas
namun juga di luar ruang kelas.
Kekurangan Sekolah Umum
1. Kurikulum
a. Harus selalu mengikuti
perkembangan yang disampaikan oleh pemerintah.
b. Kebanyakan tenaga pendidik
merasa kewalahan terhadap perubahan kurikulum yang dilakukan pemerintah
2. Metode
Pengajaran
a. Bangunan Sumber Daya Manusia
dalam mengajar kurang maksimal.
b. Kebanyakan tenaga pendidik
enggan melakukan berbagai pendekatan dalam proses belajar mengajar.
B. Pesantren
Kelebihan Pesantren
1.
Kurikulum
a. Pesantren mampu membuat dan
menentukan kurikulum sendiri tanpa mengikuti standar pendidikan yang ditentukan
oleh pemerintah.
b. Pesantren mampu memberikan
nilai lebih dalam proses belajar mengajar dengan pendekatan keilmuan yang
dibutuhkan pesert didik
2.
Metode
Pengajaran
a. Mampu mengembangkan
metode-metode baru dalam menanamkan konsep maupun mempraktekkan langsung dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Peserta didik dapat belajar
langsung dari pengalaman yang timbul sehari-hari dan menanyakan (studi) kasus
secara langsung dengan dewan guru (ustadz / ustadzah)yang bersangkutan.
c. Proses belajar mengajar
dilakukan 24 jam sehari semalam, sehingga kekurangan yang terjadi akan
tertanggulangi secara langsung
Kekurangan Pesantren
1.
Kurikulum
a. Kurikulum selalu berubah
tanpa ada pemberitahuan, dan sekehendak kyai
b. Tidak adanya standar tetap
keberhasilan seorang santri dikatakan telah lulus atau tamat menempuh
pendidikan pesantren
2. Metode
Pengajaran
a. Aktifitas santri untuk
bertanya kurang
b. Santri terlalu difokuskan
pada hafalan dan konsep-konsep pada setiap mata pelajaran, sehingga sebagian
santri cepat bosan dengan metode tersebut.
Secara Garis
besar, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan
kepribadian muslim, yaitu pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmad pada masyarakat
dengan jalan menjadi kaula atau abdi masyarakat atau rasul, yaitu menjadi
pelayan masyarakat sebagaimana pribadi Nabi Muhammad (mengikuti sunah nabi),
mempu berdiri sendiri, bebas dan tangguh dalam kepribadian, menyebarkan agama
atau menegakkan Islam dan kejayaan umat islam ditengah-tengah umat masyarakat (‘zzul
Islam wal Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan
kepribadian Indonesia.
Menurut Hasan
Basri, sekurang-kurangnya pesantren dibedakan menjadi tiga corak yaitu:[12]
1. Pesantren tradisional
Pesantren tradisional yaitu pesantren yang
masih mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi
yang berarti dalam sistem pendidikannya, manajemen (pengelolaan) pendidikannya
masih sepenuhnya berada pada seorang kyai, dan kyai sebagai satu-satunya sumber
belajar dan pemimpin tunggal serta menjadi otoritas tertinggi di lingkungan
pesantrennya.[13]
2. Pesantren transisional
Pesantren transisional, pesantren ini
ditandai dengan adanya porsi adaptasi pada nilai-nilai baru (sistem pendidikan
modern). Dalam manajemen dan administrasi sudah mulai ditata secara modern
meskipun sistem tradisionalnya masih dipertahankan seperti pimpinan masih
berporos pada keturunan, wewenang dan kebijakan dipegang oleh kyai karismatik
dan lain sebagainya. Dari segi kelembagaan sudah mulai ada yang mengelola atau mengurus
melalui kesepakatan bersama dan kyai sudah membebaskan santri untuk memberikan
pendapat. Pada umumnya pesantren ini tidak terdapat perencanaan-perencanaan
yang tepat dan tidak mempunyai rencana induk pengembangan pasantren untuk
jangka pendek maupun jangka panjang.[14]
3. Pesantren modern.
Pesantren telah mengalami transformasi yang sangat signifikan
baik dalam sitem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Pesantren ini
telah dikelola dengan manajemen dan administrasi yang sangat rapi dan sistem
pengajarannya dilaksanakan dengan porsi yang sama antara pendidikan agama dan
pendidikan umum, dan penguasaan bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Adapun kelemahan mendasar yang umum terjadi pada
system pesantren adalah lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan
pesantren. Agaknya tidak banyak pesantren yang mampu secara sadar merumuskan
tujuan pendidikannya dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau
program. Mungkin kebutuhan terhadap ini relatif baru. Tidak adanya rumusan ini
disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan pesantren diserahkan pada
proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh kiai atau bersama-sama para
pembantunya secara intuitif yang disesuaikan dengan perkembangan pesantrennya. Seorang kiai
memang mempunyai peran
multifungsi dalam sistem pendidikan
di pesantren: sebagai guru, Muballig, sekaligus menajer.[15] Malah
pada dasarnya memang pesantren itu sendiri dalam semangatnya adalah pancaran
kepribadian pendirinya. Maka tidak heran bila timbul anggapan bahwa hampir
semua pesantren itu merupakan hasil usaha pribadi atau individual.
Disebutkan oleh Prof. Dr. Prof.
Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed. beberapa kelemahan yang ada di pesantren, dilihat dari
paradigm modernisme sebagai berikut :
1)
Dunia
pesantren memandang bahwa ilmu adalah hal yang sudah final dan mapan, serta
dapat diperoleh melalui konsep berkah kiai.
2)
Para
santri yang ada di pesantren melihat bahwa ilmu atau apa saja yang diajarkan
oleh kiai, ustadz dan kitab-kitab agama harus diterima sebagai kebenaran yang
tidak perlu dipertanyakan lagi. Pandangan yang demikian pada gilirannya membawa
kepada keadaan di mana kiai kurang kritis.
3)
Dunia
pesantren memandang bahwa kehidupan ukhrawi jauh lebih penting daripada
kehidupan duniawi. Akibatnya mereka kurang memperhatikan hal-hal yang secara
langsung berhubungan dengan kesuksesan hidup di dunia. Ilmu pengetahuan, teknologi
modern, dan etos kerja yang progresif kurang mendapat tempat di lingkungan
pesantren.
4)
Dunia
pesantren masih cenderung menerapkan metode belajar dengan sistem hapalan,
tanpa disertai dengan pengembangan wawasan, penalaran, dan kemampuan berfikir sistematik
dan kritis. Akibatnya mereka hanya menjadi konsumen ilmu yang terkadang kurang
relevan dengan zaman, dan tidak berani tampil sebagai produsen ilmu.
5)
Adanya
keharusan patuh dan tunduk secara mutlak kepada guru serta pada kehidupan
kolektif, menyebabkan terjadinya hambatan bagi perkembangan individualitas
(jati diri) dan menghambat timbulnya berfikir kritis.
6)
Adanya
pandangan hidup fatalistis yang menyerahkan nasib kepada keadaan dan perilaku
sacral dalam menghadapi berbagai realitas kehidupan keduniaan sehari-hari,
menyebabkan para santri tidak memiliki etos kerja dinamis dan progresif yang
diperlukan dalam menghadapi persaingan di era global.
Selanjutnya
Nurcholis Madjid dalam analisisnya menyatakan bahwa kesenjangan pesantren
dengan modernisasi paling tidak dipicu oleh enam hal yang pada umumnya masih
menandai kondisi objektif pesantren, yaitu:[16]
1.
Lingkungan. Tata lingkungan pesantren pada
umumnya merupakan hasil partumbuhan dan pembangunan yang tidak terencana,
sporadis, dan tidak memadai baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.
2.
Penghuni/santri. Adanya diskrepansi yang
ditunjukkan para santri jika dibandingkan dengan komunitas luar baik menyangkut
pakaian, kesehatan, maupun tingkah laku.
3.
Kurikulum. Dalam dunia pesantren, pengajaran
pengetahuan umum yang masih setengah-setengah, dominannya ilmu-ilmu keagamaan,
sistem pengajaran yang kurang efisien, dan intelektualisme–verbalisme yang
eksesif karena berorientasi pada penalaran produktif, bahkan cenderung
menimbulkan dogmatisme dan prinsipalisme.
4.
Kepemimpinan. Terdapat tolok ukur tertentu dalam
kepemimpinan pesantren, yaitu kharisma, personal, religio–feodalisme, dan
kurang mementingkan kecakapan teknis.
5.
Alumni. Para alumni pesantren pada umumnya hanya
cocok untuk jenis masyarakat “tradisional” dan kecenderungan mereka bersikap
reaktif–agresif terhadap dunia luar, sehingga tidak akan sanggup bersaing dalam
kehidupan modern.
6.
Kesederhanaan. Walaupun kesederhanaan memang
diakui melekat dengan pesantren,hal ini masih belum mendapatkan penekanan
khusus dalam kurikulumnya dan belum mendapatkan pengarahan dalam penjiwaannya.
Rumusan
Masalah
Prof.
Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed dalam kajiannya membuat ruang lingkup
batasan permasalahan sebagai berikut:[17]
1)
Apa unsur-unsur yang terdapat di dalam sistem pendidikan
pesantren? Apa saja yang perlu dikembangkan lebih lanjut, apa yang tidak perlu
dipertahankan, dan mana yang perlu diubah dan disempurnakan atau diperbaiki
lebih dulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional?
2)
Apa nilai-nilai luhur yang dikandung dalam
unsur-unsur tersebut? Manakah di antaranya yang perlu dikembangkan lebih
lanjut, yang tidak perlu dipertahankan, dan yang perlu diperbaiki lebih dulu
sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional?
3)
Bagaimanakah perspektif atau dinamika sistem
pendidikan pesantren dalam menghadapi tantangan jaman, yaitu kebutuhan
pembangunan nasional lengkap dengan kemajuan ilmu dan teknologi? Apa
kemungkinan bentuk-bentuk pendidikan pesantren yang akan terjadi di masa depan
sehubungan dengan tantangan jamannya tersebut?
Dari ruang lingkup permasalahan
di atas, Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed menetapkan
garis kajiannya kearah sebagai berikut :[18]
1)
Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren
yang kiranya perlu dikembangkan dalam system pendidikan nasional, yang kemudian
disebut butir positif.
2)
Mencari butir-butir system pendidikan pesantren
yang kiranya sudah tidak perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional
dan perspektif pesantren di masa depan karena sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan
jamannya. Inilah yang disebut butir negatif.
3)
Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren
yang sekiranya perlu diperbaiki terlebih dahulu, sebelum dikembangkan dalam
sistem pendidikan nasional dan sistem pendidikan pesantren dalam menyongsong masa
depan. Untuk selanjutnya disebut dengan butir-butir plus-minus.
4)
Mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk
pendidikan pesantren yang akan terjadi sehubungan dengan tantangan jaman.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka Prof. Dr. Mastuhu,
M.Ed memaparkan alasan dilakukan penelitiannya dalam bagian tujuan dan kegunaan penelitian ini. Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang
kiranya perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional, yang selanjutnya
disebut butir-butir positif.
2. Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang
kiranya sudah tidak perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dan
perspektif pesantren di masa depan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan
tantangan zamannya, yang selanjutnya disebut butir-butir negative.
3. Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang
sekiranya perlu diperbaiki lebih dulu sebelum dikembangkan dalam sistem
pendidikan nasional dan sistem pendidikan pesantren dalam menyongsong masa
depannya, yang selanjutnya disebut butir-butir plus minus.
4. Mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk-bentuk
pendidikan pesantren yang akan terjadi sehubungan dengan tantangan zamannya.
Sedangkan kegunaan
penelitian yang dilakukan Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed antara lain :
1. Untuk
memperkenalkan dunia pesantren sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa dalam
bidang pendidikan.
2. Untuk
mengintegrasikan pesantren sebagai salah satu sumber pendidikan moral ke dalam
sistem pendidikan umum atau nasional untuk mengimbangi pendidikan ilmu
pengetahuan atau akal.
3. Untuk menggali
lebih mendalam model pendekatan dengan bahasa agama dan dengan gaya kepemimpinan
karismatik yang dipergunakan dalam mengajak umatnya untuk berpartisipasi dalam
pembangunan sebagai pengamalan agamanya.
4. Untuk
memperoleh bahan pemikiran untuk mengantisipasi bentuk pendidikan Islam di
Indonesia pada umumnya dan pesantren pada khususnya di masa depan sesuai dengan
tantangan zaman.
Sistematika
Pembahasan
Hasil kajian dalam buku ini di sajikan sekaligus
dianalisa dalam beberapa pokok bahasan yang terbagi atas 5 bab, sebagai berikut
:
·
Bab I, Pendahuluan.
·
Bab II, Tinjauan Pustaka, berisi pembahasan
tentang manusia dan kehidupan, sistem pendidikan dengan dua sub bahasan yaitu
aliran-aliran pendidikan dan unsur-unsur sistem pendidikan; dan system
pendidikan pesantren dengan subbahasan aliran-aliran pendidikan pesantren,
kehadiran pesantren ditengah-tengah kehidupan masyarakat, unsur-unsur pendidikan
pesantren dan nilai-nilai system pendidikan pesantren.
·
Bab III, Kerangka dan Metode, berisi pembahasan
tentang kerangka pemikiran, syarat-syarat pendekatan ilmiah, pendekatan
sosiologis-antropologis dan fenomenologis-interaksi simbol, grounded research,
ruang lingkup penelitian, dan teknik penyajian hasil.
·
Bab IV, Hasil dan Pembahasan, berisi pembahasan
tentang gambaran umum pesantren dengan sub bahasan arti pesantren, tujuan
pesantren, masyarakat pesantren, unsur-unsur pesantren, nilai pesantren,
pendekatan pesantren, fungsi pesantren, metodik-didaktik pengajaran pesantren,
prinsip-prinsip sistem pendidikan pesantren dan tantangan pesantren masa depan;
Gambaran khusus pesantren: berisi unsur-unsur sistem pendidikan pesantren
dengan subbahasan meliputi tujuan, filsafat dan tata nilai, struktur organisasi
pesantren, lingkungan kehidupan pesantren, kiai dan ustadz, santri, pengurus,
interaksi pelaku, kurikulum dan sumber belajar, proses belajar-mengajar dan
evaluasi, pengelolaan dan dana, sarana dan alat-alat pendidikan; Dinamika
sistem pendidikan pesantren: perspektif bentuk pendidikan pesantren di masa
depan; dan rekapitulasi deskripsi hasil temuan penelitian.
·
Bab V. Kesimpulan dan Saran.
Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam melakukan kajian ini
adalah metode analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Pada Kualitatif,
data-data didapat dengan metode interview,
observasi, dan metode angket. Untuk analisis kuantitatif digunakan pada data
yang diperoleh dari angket, oleh karenanya dipergunakan analisis dengan
statistik.
Konsep
pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan
sosiologis-antropologis dan pendekatan fenomenologis-interaksi simbol.[19] Dijelaskan oleh Prof. Dr. Prof. Dr.
Mastuhu, M.Ed, M.Ed bahwa pendekatan ini digunakan untuk menembus tabir
rahasia nilai-nilai kehidupan pesantren karena nilai-nilai kehidupan pesantren
itu tersembunyi di balik fenomena-fenomena dan simbol-simbol yang dipergunakan.[20]
Penutup
1) Menurut pandangan pesantren
bahwa manusia dilahirkan menurut fitrahnya masing-masing. Dalam hubungan ini,
tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan daya-daya positif (Ilahiyah)
dan mencegah timbulnya daya-daya negatif (syaithaniyah).
2)
Dunia
pesantren menilai bahwa melaksanakan usaha pendidikan adalah merupakan ibadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, di dalam menjalankan usaha
pendidikan (belajar-mengajar) seyogyanya dilakukan dengan ikhlas dan mengharap
ridha Allah.
3)
Dunia
pesantren amat menekankan adanya hubungan baik antara murid dan guru. Hubungan
ini didasarkan pada pandangan bahwa murid tidak akan menjadi orang baik dan
pandai tanpa guru, dan guru dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada
pelaksanaan amanah dari Tuhan.
4)
Dunia
pesantren memandang bahwa bekerja di pesantren harus dipandang tenpat
mencari ilmu dan mengabdi, dan bukan semata-mata tempat mencari rezeki.
5)
Dunia
pesantren melihat bahwa metode belajar halaqah dan sorongan dapat disesuaikan
dengan keadaan zaman.
6)
Dunia
pesantren melihat bahwa pendidikan yang dilengkapi dengan sistem asrama yang
dilakukan atas dasar: bahwa pandangan dalam hak, orang sebaliknya mendahulukan
hak orang lain daripada haknya sendiri, tetapi dalam hal kewajiban, orang
sebaiknya mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain serta
didasarkan pada keteladanan dan berlomba dalam kebajikan dalam hal mengamalkan
ajaran agama dalam hidup keseharian di pesantren.
7)
Dunia
pesantren memiliki pandangan hidup jangka panjang dan menyeluruh. Yaitu, bagi
orang yang benar-benar percaya kepada Tuhan, maka ia bersikap optimis dalam
menjalani kehidupan. Ia tidak akan putus asa jika menerima musibah, dan
sebaliknya ia juga tidak akan lupa daratan jika memperoleh keuntungan. Hal yang
demikian didasarkan pada pandangan bahwa setiap peristiwa dipandang belum final
dan semua pada akhirnya akan kembali ke kebenaran Tuhan, sekalipun pada waktu
itu ia belum mengerti.
Selanjutnya Prof. Dr.
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed menutup kajiannya dengan memberikan
saran-saran sebagai berikut.[22]
1)
Pesantren
harus melakukan pengembangan dan pembaharuan terhadap pemikiran dalam memahami
ajaran Islam, antara lain dengan mengembangkan teologi yang bercorak rasional
melalui pengajaran filsafat dan penerapan metode dialog.
2)
Kedua,
pesantren perlu mengadopsi dan mengembangkan wawasan berfikir keilmuan dari
Sistem Pendidikan Nasional, yaitu dengan menerapkan metode berfikir: a)
Deduktif, b) Indikatif, c) kausalitas,dan d) kritis. Hal ini amat penting
artinya jika kita ingin memanfaatkan pesantren sebagai sarana kelembagaan
penyuluhan pembangunan nasional secara efektif dan efisien, untuk
menyempurnakan pendekatan melalui bahasa agama sebagaimana selama ini digunakan
oleh pesantren di dalam mangajak umat Islam melaksanakan kewajiban sosial
keagamaan.
3)
Dalam
rangka , mengembangkan identitas pesantren dalam zaman modern ini, maka dalam
mempelajari ilmu pengetahuan dan tekbologi, seharusnya pesantren tidak
mengambil ilmu-ilmu pengetahuan yang hanya bersumber pada hukum alam, tetapi
harus bersumber pada sunatullah.
4)
Pesantren
perlu mengembangkan konsep dan wawasan baru mengenai asrama sebagai salah satu
ciri khasnya yang lebih kreatif dan inovatif, sehingga mampu mengembangkan
ilmu-ilmu yang diasuhnya.
5)
Pesantren
perlu menjadikan dirinya sebagai pusat studi pembaharuan tarekat.
6)
Perlu
adanya kelompok ahli yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga-lembaga
ilmiah lainnya untuk membantu pesantren di dalam mengembangkan wawasan berfikir
rasional dan ilmiah.
Dari uraian
di atas, maka dapat diambil point
penting bahwa model kajian pesantren yang dilakukan oleh Prof. Dr.
Mastuhu, M.Ed dapat dijadikan sebagai salah satu model alternatif dalam
melakukan kajian pesantren. Di samping
itu, model kajian Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed ini dapat dijadikan sebagai acuan
model rekonstruksi paradigmatik pendidikan pesantren serta acuan model bagi
upaya mereformulasi jenis dan model kelembagaan dan pengelolaan pesantren masa
depan yang siap menerima tantangan globalisasi.
Daftar Pustaka
Farchan dan syarifudin, Titik Tengkar Pesantren Resolusi Konflik
Masyarakat Pesantren ,Yogyakarta
: Pilar Religi, 2005.
Indonesian-Netherlands
Cooperation in Islamic Studies-INIS, http: www.iias.nl / iiasn / iiasn3 /
soueasia/inis.txt, tanggal 30 Oktober, pukul 23.15 WIb.
Hasan Basri, Pesantren:
Karakteristik Dan Unsure-Unsur Kelembagaan, dalam Abuddin Nata (eds),
Sejarah
Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia,
Jakarta: Grasindo, 2001
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed.
Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994
Manfred Ziemek,
Pesantren dalam Perubahan Sosial,
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1986
Mahmud Arif, Pendidikan Islam
Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008.
http://pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf
[1]
http://pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf
[3]
Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies-INIS, http: // www.iias.nl / iiasn / iiasn3
/ soueasia/inis.txt, tanggal
30 Oktober, pukul 23.15 WIb
[4]
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian
tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994, hlm.
136.
[5]
Manfred Ziemek,
Pesantren dalam Perubahan Sosial,
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1986, hlm. 99.
[7]
Pesantren, Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren,
tanggal 28 Oktober 2013, pukul 21.16.
[8]
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta:
LKiS, 2008, hlm. 168.
[9]
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed Op.Cit., hlm. 61.
[10]
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, Op. Cit. hlm., 143
[12]
Hasan Basri, Pesantren: Karakteristik Dan Unsure-Unsur Kelembagaan, dalam Abuddin
Nata (eds), Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001,
hlm. 124
[13]
Ibid.
[14]
Ibid., hlm. 108.
[15]
Farchan dan syarifudin, Titik
Tengkar Pesantren Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren ,Yogyakarta : Pilar Religi, 2005, hlm 68-69.
[16]
Mahmud Arif, Op.cit.,
hlm. 169-170.
[17]
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed., Op.cit., hlm. 5
[18]
Ibid.,hlm. 5-6
[19]
Ibid., hlm. 44.
[20]
Ibid.
[21]
Ibid., hlm. 161.
[22]
Ibid., hlm. 163-164.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar