Kamis, 08 Januari 2015

Pengelolaan Institusional Repository Perpustakaan Universitas Gajah Mada di Yogyakarta

A.      Pendahuluan

Percepatan perubahan teknologi informasi secara global, berpengaruh pada eksistensi perpustakaan sebagai sistem penyebaran informasi.  Percepatan informasi terjadi karena adanya aliran informasi digital melalui media internet. Teknologi digital dapat menerima segala informasi dari gambar, angka, suara, teks, dan audio. Perkembangan tersebut berpengaruh terhadap kebutuhan manusia, yaitu tuntutan memperoleh informasi secara mudah dan cepat.

Dalam dunia digital, konektivitas punya makna yang lebih luas daripada sekedar memungkinkan dua orang atau lebih saling berhubungan. Untuk memenuhi kebutuhan konektivitas jaringan ini maka diciptakanlah ruang agar setiap orang dapat saling berbagi informasi, berkolaborasi, dan  berinteraksi. Teknologi ini dikenal  sebagai Internet.

Beberapa faktor penunjang terjadinya percepatan sistem informasi adalah karena beberapa sebab yaitu:
1.  Tersedianya teknologi komunikasi yang memungkinkan dilakukannya penciptaan, pengumpulan dan manipulasi informasi.
2.  Infrastruktur jaringan internasional untuk mendukung sambungan dan kemampuan pengoperasian bagi pengguna.
3. Informasi online mulai berkembang.
4.    Kerangka akses internet umum telah muncul.

Library is the growing organism. Perpustakaan berkembang  sesuai dengan kondisi budaya masyarakat. Pergeseran dari bentuk perpustakaan konvensional ke arah digital on line merupakan keniscayaan kebutuhan informasi yang terus bergerak cepat.  Dalam sejarah perkembangan perpustakaan di Indonesia, perpustakaan perguruan tinggi merupakan salah satu jenis perpustakaan yang cepat memberikan respon untuk mengimplementasikan hasil perkembangan teknologi informasi.[1]

Jika pada awalnya perpustakaan hanya merupakan institusi atau lembaga yang menyimpan dan menyebarluaskan informasi  dalam bentuk buku atau kertas, maka perkembangan teknologi menjadikan informasi dalam media kertas berubah dalam bentuk data  digital, dan menjadi bagian utama dari Institusional Repository (IR) atau simpanan kelembagaan.

Repository  dapat dipahami sebagai gudang, perpustakaan  atau suatu lembaga tempat penyimpanan data, baik data dalam bentuk fisik (kertas, buku, hasil cetakan) maupun dalam bentuk digital, Perkembangannya kemudian mengidentikkan Institusional repository sebagai tempat penyimpanan data dalam bentuk digital pada institusi bernama perpustakaan, yang kemudian biasa disebut perpustakaan digital.

Menurut Gatot Subrata, beberapa keunggulan perpustakaan digital diantaranya adalah sebagai berikut:[2]
1.  long distance service, artinya dengan perpustakaan digital, pengguna bisa menikmati layanan sepuasnya, kapanpun dan dimanapun.
2. akses yang mudah. Akses pepustakaan digital lebih mudah dibanding dengan perpustakaan konvensional, karena pengguna tidak perlu dipusingkan dengan mencari di katalog dalam waktu yang lama.
3. murah (cost efective). Perpustakan digital tidak memerlukan banyak biaya, mendigitalkan koleksi perpustakaan lebih murah dibandingkan dengan membeli buku.
4. mencegah duplikasi dan plagiat. Perpustakaan digital lebih “aman”, sehingga tidak akan mudah untuh diplagiat. Bila penyimpanan koleksi perpustakaan menggunakan format PDF, koleksi perpustakaan hanya bisa dibaca oleh pengguna, tanpa bisa mengeditnya.
5.  publikasi karya secara global. Dengan adanya perpustakaan digital, karya-karya dapat dipublikasikan secara global ke seluruh dunia dengan bantuan internet.

Terkait dengan keunggulan sebagaimana disebutkan di atas bahwa peluang plagiasi dan duplikasi dapat diminimalisir dengan penggunaan tipe fille PDF, hal ini tidak sepenuhnya tepat. Tipe fille dengan format PDF dapat dengan mudah di edit, baik menggunakan software atau aplikasi perubahan PDF ke Mc.Word ataupun mencopy paste secara manual. Dengan adanya kemudahan akses informasi, upaya mendigitalkan dan mempublish suatu karya dengan penyebutan sumber yang jelas akan membentuk kontrol masyarakat terhadap suatu karya cipta.

Selain keunggulan, perpustakaan digital juga memiliki kelemahan, sebagai berikut:
1.    tidak semua pengarang mengizinkan karyanya didigitalkan. Pastinya, pengarang akan berpikir-pikir tentang royalti yang akan diterima bila karyanya didigitalkan.
2.    masih banyak masyarakat Indonesia yang buta akan teknologi. Apalagi, bila perpustakaan digital ini dikembangkan dalam perpustakaan di pedesaan.
3.    masih sedikit pustakawan yang belum mengerti tentang tata cara mendigitalkan koleksi perpustakaan. Itu artinya butuh sosialisasi dan penyuluhan tentang perpustakaan digital.[3]

Dengan dukungan teknologi informasi berbasis internet maka data yang telah disajikan dalam bentuk digital akan lebih mudah dan cepat disebarluaskan. Dijelaskan oleh Sulistyo Basuki bahwa IR bertujuan memperoleh, melestarikan dan menyediakan akses ke karya digital yang merupakan produk sebuah komunitas; di sini komunitas dapat berarti universitas, lembaga penelitian, organisasi dan sebagainya.[4]

Dengan memanfaatkan teknologi informasi, maka data digital perpustakaan yang disebarluaskan dan  diakses secara online ini kemudian biasa disebut dengan Virtual Library atau perpustakaan on line.  Perpustakaan on line ini memungkinkan setiap orang dari tempat yang berbeda dan dalam waktu bersamaan dapat menikmati sumber data pada IR yang sama.

Menurut Mahmudin, ada beberapa alasan mengapa teknologi informasi saat ini sangat dibutuhkan di perpustakaan.[5]
1.       Sistematika Informasi: Terjadinya ledakan informasi yang membanjiri dunia saat ini membutuhkan pengelolaan yang lebih sistematis. Hampir semua perguruan tinggi di Indonesia menggunakan ICT (Information and Communication Technology ) dalam pengelolaan database perpustakaan.
2.       Tingginya akses informasi: kebutuhan pengguna untuk mencari dan menemukan kembali informasi lebih mudah jika difasilitasi dengan sarana ICT . Katalog online memungkinkan pustakawan dan pengguna untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber. Sudah menjadi hal yang lumrah untuk menyusun pengajuan daftar pustaka baru dengan mengunjungi dan menggunakan data-data di toko buku amazon.
3.       Efisiensi pekerjaan: komputer di perpustakaan membantu pekerjaan menjadi lebih cepat. Pencatatan buku-buku baru serta pengolahan akan lebih mudah jika disimpan dalam file komputer. Pengkatalogan tidak hanya dengan sistem AACR (Anglo American Cataloguing Rules), begitupun penentuan subjek nya dengan DDC (Dewey Decimal Clasifications). Tetapi secara praktis penggunanaan katalog online memudahkan proses pengkatalogan.
4.       Memudahkan tukar-menukar informasi dalam bentuk data.
5.       Komunikasi dua arah atau searah, sudah hal yang lazim digunakan dengan tersedianya fasilitas yahoo messenger atau dengan fasilitas e-mail. Mailing list pustakawan adalah sebuah grup diskusi yang mempunyai kesukaan/kepentingan yang sama, setiap orang bisa berpartisipasi, kita dapat membaca email orang lain dan kemudian mengirimkan balasannya. Mailing list sebagai sarana yang ampuh untuk mendapatkan sumbangan buku dan perbaikan fasilitas perpustakaan.
6.       Menjadi trend bila pustakawan saat ini menyimpan data pada pada web dari e-mail pribadi.
7.       Keseragaman : salinan data atau informasi yang dibuat dapat diseragamkan sehingga memudahkan pengguna (user friendly). Konsep MARC (Machinery Readable Catalogue) yang populer tahun 90an masih digunakan dalam rangka penyeragamkan penentuan tag (ruas) data bibliografi pustaka.

Selain uraian pentingnya  kebutuhan teknologi informasi tersebut di atas, IR yang telah didukung teknologi internet akan memungkinkan terjadinya komunikasi ilmiah antar individu terhadap suatu topic bahasan tertentu secara lintas wilayah IR. Termasuk juga terbentuknya control terhadap akurasi suatu karya oleh setiap individu yang mengakses suatu sumber data  online.

Disebutkan oleh Sulistyo Basuki bahwa tujuan Repositori institusi  dibentuk oleh universitas adalah untuk menjalankan aktivitas sebagai berikut:[6]
1.       Membantu dalam penciptaan dan penyerahan asset digital;
2.       Membuka luaran universitas ke hadirin sedunia
3.       Memaksimumkan kenampakan dan dampak luaran tersebut sebagai hasil universitas
4.       Mengelola dan merawat luaran digital
5.       Mengukur dan mengelola aktivitaas penelitian dan pengajaran
6.       Memungkinkan serta mendorong  pendekatan antardisiplin terhadap riset
7.       Penyiapan metadata atau pelatihan dan bimbingan dalam penyiapan metadata
8.       Manajemen hak intelektual
9.       Manajemen preservasi
10.   Bantuan dalam akses dan penggunaan konten
11.   Pemasaran.

Dari uraian di atas maka selanjutnya perlu diketahui bagaimana pengelolaan sumber data pada suatu IR sehingga dapat tersaji dan diakses secara online setiap.  Dalam kesempatan ini penulis akan menyajikan tentang  pengelolaan IR di Perpustakaan UGM, sebagai salah satu universitas negeri di Indonesia yang memiliki IR. Tidak ada alasan khusus mengapa dipilih perpustakaan UGM sebagai obyek pembahasan, selain karena ingin memberikan keragaman dan perbandingan dengan penulis lain yang saat ini juga sedang membuat bahasan IR pada perguruan Tinggi lain.


B.   Rumusan Masalah
Bagaimana pengelolaan IR  di Perpustakaan UGM?

C.    Landasan Teori

Sulistyo Basuki dalam makalahnya Membangun Jejaring Kerja Perpustakaan Kementerian Agama,  menyebutkan beberapa pengertian mengenai IR , sebagai berikut :[7]
1.    University of Houston:  “A permanent, institute-wide repository of diverse locally produced digital eworks (e.g. article preprints and postprints, data sets, eletrpnoc theses and dissertations, learning objects, and technical reports that is available for public use and supports metadata harvesting.”
2.    Foster dan Gibbons: “an electronic system that captures, preserves and provide access to the digital work products of a community.”
3.    Mark & Shearer : “An Institutional Repository is a way for every academic institution so ‘showcase’ its intellectual prowess through the systematic collection, organization, making accessible and preservation of its intellectual output.”

Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa Repository institusi lebih menekankan pada penyebaran informasi  data digital yang dikelola suatu lembaga perpustakaan   melalui media internet. Sumner data digital sendiri  merupakan konversi setiap media atau analog- seperti buku, artikel jurnal, foto, lukisan, microforms, kedalam bentuk elektronik melalui pemindaian, dan pengolahan lainnya.

Secara sederhana tahapan proses digitalisasi adalah sebagai berikut:   
1.    Menyiapkan obyek 
2.    Pemindaian
3.    Memindahkan file ke penyimpanansementara
4.    Penambahan nilai-penyiapan metadata
5.    Penyimpanan jangka panjang
6.    Pembuatan alat pengaman atau pembatas
7.    Menggabungkan file
Menurut Borgman CL, bahwa perpustakaan digital setidaknya digunakan dalam dua hal :[8]
1.    Dalam the computer science research community, perpustakaan digital dipandang sebagai konten yang dikoleksi untuk pemakai
2.    Menurut masyarakat pustakawan,  perpustakaan digital di pandang sebagai sebagai institusi yang menyediakan layanan dalam lingkungan digital.

Zainal Hasibuan menyebutkan bahwa Digital library atau sistem perpustakaan digital merupakan konsep yang menggunakan internet dan teknologi informasi dalam manajemen perpustakaan[9].  Sedangkan Ismail Fahmi mengatakan bahwa perpustakaan digital adalah sebuah sistem yang terdiri dari perangkat hardware dan software, koleksi elektronik, staf pengelola, pengguna, organisasi, mekanisme kerja, serta layanan dengan memanfaatkan berbagai jenis teknologi informasi.[10]

Menurut Kenneth C laudon, sistem informasi yang efektif harus mampu memberikan penggunanya informasi yang cepat, akurat dan relevan. Informasi ini di simpan dalam file-file komputer. Jika file-file teratur dan terpelihara dengan benar pengguna bisa dengan mudah mengakses dan mengambil informasi yang dibutuhkan. File yang teratur dengan baik serta cermat mempermudah pengguna dalam mendapatkan data untuk mengambil keputusan bisnis, sedangkan file-file yang tidak dikelola dengan baik menimbulkan kekacauan dalam pemrosesan informasi.

Terkait dengan data digital perpustakaan,  upaya pengelolaan terhadap data digital harus dilakukan oleh pustakawan yang memiliki keterampilan di bidang teknologi informasi yang dibutuhkan.[11] Shapiro dan Hughes menyatakan bahwa ada tujuh keterampilan yang dibutuhkan dalam era digital ini, yaitu:[12]
1.   Tool literacy, kemampuan memahami dan mengunakan alat teknologi informasi secara konseptual maupun praktikal, termasuk di dalamnya kemampuan menggunakan perangkat lunak, keras, multimedia, yang relevan dengan bidang kerja atau studi. Termasuk di sini adalah pengetahuan dasar komputer dan aplikasi jaringan, juga pemahaman dasar tentang konsep algoritme, struktur data, topologi jaringan, dan protokol komunikasi data.
2. Resource literacy, kemampuan memahami bentuk, format, lokasi, dan cara mendapatkan sumberdaya informasi, terutama dari jaringan informasi yang terus berkembang. Pengetahuan ini sesuai dengan konsepsi pustakawan tentang information literacy, dan mencakup di dalamnya pengetahuan tentang klasifikasi dan pengorganisasian sumberdaya informasi tersebut.
3. Social-structural literacy, alias pemahaman yang benar tentang bagaimana informasi dihasilkan oleh berbagai pihak di dalam sebuah masyarakat. Ini artinya memahami siapa-siapa yang berada dibalik produksi informasi ilmiah, jaringan ilmuan mana yang menghasilkannya, apa kaitannya antara satu produsen dengan produsen lainnya, apakah ada lembaga yang dominan dalam proses itu (universitas, pemerintah, swasta). Ini juga berarti memahami bahwa ada proses formal yang harus dilalui oleh setiap informasi ilmiah sebelum dapat diakui sebagai ilmiah.
4. Research literacy, yang merupakan kemampuan menggunakan peralatan berbasis teknologi informasi sebagai alat riset. Para mahasiswa pascasarjana mungkin harus tahu bagaimana menggunakan Internet sebagai lapangan penelitian, memanfaatkan perangkat lunak statistik untuk analisis, atau perangkat lunak khusus untuk penelitian kualitatif. Para peneliti dituntut untuk semakin terampil menggunakan komputer dalam setiap tahap kegiatan penelitiannya.
5. Publishing literacy, atau kemampuan untuk menyusun dan menerbitkan publikasi dan ide ilmiah ke kalangan luas dengan memanfaatkan komputer dan Internet. Kemajuan teknologi saat ini, ditambah dengan gerakan-gerakan yang ‘membebaskan’ para ilmuan dari kukungan tradisi ilmu yang ketat di jaman cetakan, membuka kesempatan amat luas bagi setiap orang untuk menampilkan pemikirannya di Internet. Kemampuan membuat situs di Internet dan merawat serta mengundang pengunjung dalam jumlah besar, kini nyaris menjadi tuntutan umum bagi para cendekiawan.
6. Emerging technology literacy, adalah kemampuan yang memungkinkan seseorang untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan bahkan bersama-sama komunitasnya ikut menentukan arah pemanfaatan teknologi informasi untuk kepentingan pengembangan ilmu. Perkembangan mailing-list merupakan contoh bagaimana sekelompok orang yang cekatan dapat memanfaatkan Internet secara baik, walaupun pada mulanya teknologi ini hanya merupakan ‘usus buntu’ bagi program email.
7. Critical literacy, yang merupakan kemampuan melakukan evaluasi secara kritis terhadap untung-ruginya menggunakan teknologi telematika dalam kegiatan ilmiah. Seorang cendekiawan yang kritis diharapkan tidak menerima begitu saja kenyataan tentang teknologi yang sekarang tersedia secara meluas, dan dapat melakukan pemeriksaan terhadap manfaat teknologi bagi kegiatan ilmiahnya. Untuk memiliki kemampuan ini, seringkali seseorang harus rajin menyimak perkembangan teknologi itu sendiri dan memahami, atau setidaknya mengetahui, sejarah dan latarbelakang kelahiran teknologi itu.

D.      Pembahasan
Dilihat dari aspek manfaat, ada 4 hal yang menjadi perhatian utama bagi eksistensi institutional repository sebuah perguruan tinggi, diantaranya sebagai berikut :

  1. Untuk mengumpulkan konten dalam satu lokasi sehingga mudah untuk ditemukan kembali
  2. Untuk menyimpan dan melestarikan aset intelektual sepanjang waktu.
  3. Untuk menyediakan akses terbuka terhadap karya intelektual institusi kepada khalayak umum.

Institutional repositories sebagai simpan kelembagaan, merujuk pada kegiatan penghimpunan dan melestarikan koleksi digital yang merupakan hasil karya intelektual dari sebuah karya tertentu (Pendit,137: 2008). Karya intelektual bermacam-macam ada yang merupakan hasil konversi dari cetak ke digital, atau mungkin sudah dalam bentuk digital. Proses iini sebagai sumber-sumber digital yang akan menuju ke metadata untuk mudah diakses pemustaka. Namun dalam jangka panjang sumber-sumber ini harus bisa diakses dan tetap terjaga baik 10 tahun atau 35 tahun kedepan. Pengelolaan sebuah aset digital menjadi perhatian para pustakawan. Masalah yang harus perhatikan dalam implementasi digital libraries.

Ada beberapa perangkat lunak yang diperluhkan oleh perpustakaan digital dalam pengelolaan sumber-sumber digital, menurut Pendit (2007: 192-194) ada tiga yaitu :
1.    Mengembangkan sendiri secara Internal
Perpustakaan yang memiliki staf internal yang mampu mengembangkan perangkat lunak. Dengan mengembangkan sendiri, perpustakaan mempunyai kendali penuh terhadap proses pengembangan system. Selain itu, kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya umum maupun spesifik bisa dipenuhi dengan mudah. Keuntungan lain, pilihan ini akan turut meningkatkan ketrampilan teknis dan pengetahuan dari pihak pengembang
2.    Meminta pihak ketiga untuk mengembangkan (outsourcing)
Pilihan ini cocok untuk perpustakaan yang tetap ingin kebutuhan umum maupun spesifik bisa dipenuhi namun tidak memiliki staf internal khusus untuk mengembangkan perangkat lunak. Keuntunganya adalah pihak ketiga sudah memenuhi pemrogram-pemprogram yang sudah tampil  dan berjalan lebih cepat. Tugas perpustakaan tidak terganggu dari pekerjaan sehari-harinya. Konsekuensinya bisa jadi pihak ketiga memberkan system yang tidak seperti diharapkan pada awalnya atau system yang kurang memenuhi kebutuhan
3.    Membeli perangkat lunak yang sudah jadi
Perangkat ini bersifat cepat dan sudah matang dengan content yang ditawarkan. Perangkat yang sudah matang teruji, memungkinkan akan lebih awet. Namun di banyak kasus, pembeli biasanya harus menerima fungsionalitas yang diberikan oleh system apa adanya, sebagian mungkin akan digunakan dan sebagian lagi tidak. Kekurangan yang lain, seperti system yang dibeli bisa jadi tidak terintegrasi dengan bagus  terdapat system-sistem yang sudah ada.

Dari ketiga unsur pengadaan pengelolaan sumber digital, perpustakaan UGM lebih mengedepankan proses pengembangan perangkat sendiri secara internal. Alasan yang diutarakan oleh Pak Janu Saptari selaku pengelola perpustakaan digital bahwa sesuai dengan kebutuhan kita dalam arti pengelola perpustakaan digital. Baik  tampilannya yang simple dan content yang mudah untuk dijalankan.

Berikut koleksi yang sudah dikelola UGM di perpustakaan digital:  
a      E-book, Berisi buku-buku yang sudah didigitalkan oleh perpustakaan UGM,
b      Katalog online
c       Katalog online ini tidak hanya memuat katalog-katalog koleksi yang ada di perpustakaan universitas tapi juga di fakultas. Hal ini membuat pemustaka mudah dalam pencarin koleksi yang mereka butuhkan, karena tidak terbatas pada koleksi yang ada di perpustakaan universitas
d      Konten lokal , yaitu pencarian koleksi yang ada di seluruh perpustakaan UGM secara simple , yaitu yang disebut simple digital library system/simple search. Pencariannya tidak per-fakultas, tapi per-disiplin ilmu yang sudah tercantum pada digilib, sehingga pemustaka dalam menemukan koleksi bisa lebih tepat dan sesuai yang diinginkan. karena pencrian lebih spesifik menurut disiplin ilmu.
e      Jurnal UGM, yaitu untuk pancarian jurnal yang ada di perpustakaan UGM  sesuai dengan disiplin ilmu yang ada di setiap prodi. Namun jika kita mengeklik advance search, maka kita akan terhubung ke komunitas portal universitas-universitas yang ada Yogyakarta, baik itu PTN maupun PTS yang bekerja sama dengan digilib UGM. Tentu saja hal ini akan menambah lagi koleksi yang dapat diakses oleh pemustaka.
f       ETD (Electronics theses/dissertation, berisi tesis dan disertasi hasil karya mahasiswa dan dosen UGM.
g      Referensi Online
h      Surat kabar online
Berisi surat kabar online yang dilanggan UGM, seperti The Jakarta Post, Jawa post, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Sinar harapan, Suara Pembaharuan. Pemustakan dapat mengakses berita-berita melului surat kabar online ini. Nanti pemustaka bisa memilih koran yang mereka suka dan akan terhubung dengan web koran-koran tersebut.
i        Kamus online; Sesuai namanya kamus online adalah kamus yang didigitalkan seperti pada handphone. Kamus ini dapat memudahkan pemustaka dalam pencarian kata-kata yang sulit.
j        Ensiklopedia online; Berisi ensiklopedi-ensiklopedi yang dilanggan digilb UGM.
k       Prosiding; Berisi kumpulan makalah yang diseminarkan.

Perpustakaan digital UGM tidak menggunakan software yang familiar dengan kalangan umum, pemilihan software ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pemustaka. Adapun software aplikasi yang digunakan oleg perpustakaan digital UGM adalah dengan menggunakan simpel digital dan sipus.
a.       Simple digital
Pada penyimpanan aplikasi simpel digital ini, koleksi yang tersimpan adalah segala macam dokumentasi terkait dengan kegiatan ke-UGM-an. Adapun contoh dari koleksi ini adalah seperti pidato rektor,  press release, liputan wisuda maupun seputar kabar yang sedang hangat di wilayah UGM. Pada aplikasi software simple digital, koleksi bisa diperoleh keseluruhan dalam artian full text. Mengenai kerentanan plagiasi terhadap koleksi yang dapat didownload secara full text, hal ini telah menjadi kebijakan universitas untuk memperbolehkan pemustaka local maupun umum memperoleh file dalam aplikasi simple digital ini. Aplikasi simple digital
Adapun tampilan simple digital library Perpustakaan UGM
b.      Sipus
Jika dalam simple digital telah dijelaskan mengenai akses maupun koleksinya, maka dalam penyimpanan sipus perpustakaan digital UGM ini berisi repository (simpanan kelembagaan). Adapun koleksi ini berupa laporan tugas akhir, tesis, disertasi, jurnal penelitian sehingga akses terbataspun diberikan ketika pemustaka hendak mengakses file dokumen yang termasuk dalam koleksi repository ini.  Karena berisi mengenai simpanan kelembagaan maka, tidak semua pemustaka bisa memperoleh informasi secara keseluruhan, namun akses terbatas ini sering disebut oleh pustakawan sebagai akses lokal.
Semenjak bulan Juni tahun 2013, perpustakaan tidak mengoleksi skripsi dalam bentuk cetak (wawancara dengan salah satu pustakawan bagian pengolahan Pak Janu Saptar http://lib.ugm.ac.id/staff/janu_jsx.html ) sehingga sejak bulan tersebut perpustakaan menerima file dokumen dalam bentuk born digital.

Metadata Ugm menggunakan 3 kelompok metadata yaitu
1)      Metadata deskriptif
Pendit, 2007: 203 menjelaskan metadata deskriptif mengidentifikasi sumber informasi sehingga memperlancar proses penemuan (discovery) dan seleksi, seperti pengarang, judul, tahun terbit, tajuk subyek atau informasi lain yang lazimnya dicatat dalam proses pembuatan cantuman bibliografi pengkatalogan traditional.
2)      Metadata Administrasi
Data yang memberikan informasi untuk pengelolaan sumber informasi seperti kapan dan bagaimana diciptakan tipe berkas, data teknis lain dan siapa pemiliknya siapa yang berhak mengakses.
3)      Metadata Struktural
Metadata struktural diperlukan untuk mengetahui hubungan antara berkas fisik dan halaman.

E.       Kesimpulan

Pengelolaan sumber informasi perpustakaan digital dewasa ini tidak terpaku pada beberapa standar yang telah ditetapkan oleh para ahli. Pustakawan dan tenaga informatika perpustakaan mampu menduplikasi beberapa software yang tidak kalah dengan standar aslinya tentunya dengan memiliki kegunaan fungsi yang menyerupai. Sebagian perpustakaan menggunakan beberapa software aplikasi yang dianggapnya familiar dan mudah dioperasikan baik dari pustakawan maupun pemustakanya.
Seperti hasil dari penelitian lapangan yang telah kami lakukan beberapa hari yang lalu, bahwasannya perpustakaan digital UGM menggunakan software aplikasi buatan sendiri yang dinamai simple digital dan sipus. Adapun pemilihan software ini dikarenakan software ini mudah dalam pengoperasiannya. Perbedaan simpel digital dan sipus ini terletak pada kandungan koleksi yang ada pada content. Adapun perbedaannya adalah jika dalam simple digital berisi dokumentasi digital mengenai kegiatan UGM dengan fasilitas full access dan full download maka tidak dengan aplikasi yang sipus. Aplikasi sipus berisi mengenai repository yakni simpanan kelembagaan UGM yang sebagian isi tidak bisa di akses dan tidak semua dokumen bisa didownload.

DAFTAR PUSTAKA
Chowdhury, Sudata & GG Chowdhury. 2003. Introduction to Digital Libraries. London: Facet Publishing
Fahmi, Ismail, 2004. Irzovasi Jaringan Perpustakaan Digital: Network of Networks(NeONs). Makalah Seminar dan Workshop Sehari Perpustakaan dan .Informasi Universitas Muhammadiyah Malang 4 Oktober 2004.
Hasibuan, Zainal A, 2005. Pengembangan Perpustakaan Digital: Studi KasusPerpustakaan Universitas Indonesia. Makalah Pelatihan Pengelola Perpustakaan Perguruan Tinggi. Cisarua: Bogor, 17-18 Mei 2005.
Hasibuan, Zainal A, 2005. Pengembangan Perpustakaan Digital: Studi Kasus Perpustakaan Universitas Indonesia.
Khasanah, Nanan. “ Kompetensi pustakawan di Era Perpustakaan Digital”. Disampaikan dalam Pelatihan perpustakaan Digital untuk pustakawan di Lingkungan PMPTK se-Indonesia, Institut Teknologi Bandung, 2008
Large, Andrew & Lucy A. Tedd. 2005. Digital Libraries: Principle and Practice in a Global Environment. Germany: Strauss GmbH
Laudon, Kenneth C. 2005. Sistem informasi manajemen: mengelola perusahaan digital Edisi 8. Yogyakarta: Andi Offset
Pendit, Putu Laxman. 2008. Perpustakaan Digital dari A sampai Z. Jakarta: Citra Karyakarsa Mandiri
Pendit, Putu Laxman. 2009. Perpustakaan Digital: Kesinambungan & Dinamika. Jakarta: Citra Karyakarsa Mandiri
Priyanto, Ida fajar.” Perpustakaan digital: Apa dan bagaimana”. Jogjakarta,2009




[1] M. Solihin Arianto, Preservation Policy for Digital Collections: A Proposed Concept to Library of State Islamic University Of Sunan Kalijaga Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id/9013/

[2] Subrata, Gatot. Perpustakaan Digital. Ikatan Pustakawan UM: Universitas Negeri Malang, Oktober 2009,  http://qisthylibrary.weebly.com/e-articels.html
[3] Pernyataan bahwa “masih sedikit pustakawan yang belum mengerti tentang tata cara mendigitalkan koleksi perpustakaan”  dalam  Subrata, Gatot., Ibid., sesungguhnya menarik untuk dibuktikan kembali mengingat pendapat tersebut muncul pada tahun 2009 atau hampir 5 tahun yang lalu, dimana kegiatan menscan atau mempublish tidak sepopuler saat ini.

[4]Sulistyo Basuki, http://sulistyobasuki.wordpress.com/2013/04/29/membangun-jejaring-kerja-perpustakaan-kementerian-agama/

[5] Mahmuddin. “Pemanfaatan ICT (Information and Communication Technology” di Perpustakaan” Disampaikan dalam Pelatihan Perpustakaan Digital untuk pustakawan di Lingkungan PMPTK se-Indonesia, Institut Teknologi Bandung, 2008.
[6] Sulistyo Basuki,  Op.cit
[7]  Sulistyobasuki,  Op.cit.
[8] Priyanto, Ida fajar.” Perpustakaan digital: Apa dan bagaimana”. Jogjakarta,2009
[9] Hasibuan, Zainal A, 2005. Pengembangan Perpustakaan Digital: Studi KasusPerpustakaan Universitas Indonesia.Makalah Pelatihan Pengelola Perpustakaan Perguruan Tinggi. Cisarua - Bogor, 17-18 Mei 2005.

[10] Fahmi, Ismail, 2004. Irzovasi Jaringan Perpustakaan Digital: Network of Networks(NeONs). Makalah Seminar dan Workshop Sehari Perpustakaan dan .Informasi Universitas Muhammadiyah Malang 4 Oktober 2004.

[11] Laudon, Kenneth C. Sistem informasi manajemen: mengelola perusahaan digital Edisi 8.  Yogyakarta:  Andi,  2005.

[12] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital Perguruan Tinggi : Tantangan Peningkatan Kualitas Jasa, http://core.kmi.open.ac.uk/display/11706144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar