Rabu, 28 Januari 2015

PERAN PUSTAKAWAN DI ERA DIGITAL

  


 Perubahan teknologi informasi yang dimotori oleh penemuan sistem interconnection network atau biasa disingkat internet telah memberi pengaruh besar terhadap berbagai sektor kehidupan. Paradigma tentang sistem informasi yang semula dibatasi oleh ruang dan waktu telah berubah secara drastis. Batasan fisik terhadap model informasi dan komunikasi menjadi bias. Internet sebagai suatu sistem global dari seluruh jaringan komputer yang saling terhubung telah menghadirkan persepektif peradaban baru yaitu dunia maya. Suatu dunia yang dianggap mampu mengakomodir segala kompleksitas dan diversifikasi kebutuhan  manusia terhadap akses informasi yang lebih cepat dan mudah.
Sejalan dengan ekspektasi masyarakat terhadap perkembangan teknologi informasi, institusi  perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan informasi yang dapat diakses kapanpun dan dari manapun dalam waktu bersamaan. Deskripsi perpustakaan yang semula hanyalah sebatas kumpulan informasi dalam  media kertas dengan sistem layanan lokal telah bergeser sejak digunakannya teknologi internet berbasis data digital yang mampu diakses kapanpun, dimanapun dan dalam waktu yang bersamaan. Perkembangan ini berimplikasi pada tuntutan agar perpustakaan berorientasi pada peningkatan kualitas layanan berbasis kepuasan pengunjung, yaitu cepat, tepat, mudah, dan murah.

Selengkap apapun koleksi suatu perpustakaan, jika pustakawan kurang responsif terhadap perkembangan teknologi informasi yang berkembang maka dikhawatirkan akan menyebabkan pemustaka enggan berkunjung ke perpustakaan karena informasi yang dibutuhkan cukup diakses melalui media internet di rumah.  Perpustakaan jika diibaratkan  sebagai perusahaan, maka bahan koleksi  adalah produk yang dijual, pemustaka adalah customer dan pustakawan adalah marketer-nya. Suatu perusahaan  akan log out  jika tidak memiliki customer. Apapun layanan jasa yang ditawarkan oleh perpustakaan harus diawali dan berorientasi kepada kebutuhan pemustaka.

Pergeseran peran pustakawan pada penerapan konsep perpustakaan digital ini menuntut  Pustakawan supaya memiliki kemampuan manajerial untuk membentuk  sumber data digital, preserfasi dan mengkoordinasikan ketersediaan data yang dibutuhkan bagi pemustaka. Oleh karenan itu kedepannya eksistensi Pustakawan akan dinilai  dari  kemampuannya  untuk menghubungkan  Pemustaka dengan sumber informasi digital yang dibutuhkan.

Senin, 19 Januari 2015

Akhir Hidup Sang Penemu Kertas


Transformasi keilmuan melalui media buku tidak lepas dari perkembangan teknologi kertas. Adalah Tsai Lun, seorang Kasim pada masa Dinasti kekaisaran Han Hedi ( Dinasti Han) pada tahun 105 m yang mewakili cina memberikan sumbangan penemuan kertas bagi peradaban manusia. Walaupun pada akhirnya Tsai Lun mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri menenggak racun lantaran malu akibat penghianatannya terhadap istana terbongkar, namun setidaknya karena penemuannya itulah peradaban manusia tidak lagi menulis di atas kulit hewan, batu, ataupun kayu. #KIMV

Sabtu, 10 Januari 2015

KISAH PARA PENCURI BUKU

DI JALAN Juanda, Jakarta Pusat, pernah berdiri dua toko buku: Kolf dan van Dorp. Konon, Chairil Anwar dan Asrul Sani sering melancong ke sana. Suatu hari tampak buku Nietzsche terpajang di rak.

“Wah, itu buku mutlak harus dibaca!” seru Chairil kepada Asrul. Niat nakal pun terbit. Melihat Chairil bercelana komprang dengan dua saku lebar, Asrul menyuruhnya mencuri, sementara ia mengawasi si penjaga toko.

Mereka berhasil keluar dari toko mengantongi buku curian.
“Deg-degan setengah mati,” kenang Asrul. Namun terkejutlah mereka, ternyata mereka salah mengambil Injil, bukan buku Nietzsche, yang memang sama-sama nangkring di rak buku agama. Asrul dan Chairil pulang dengan dongkol.

Pasangan sahabat penyair dan dramawan ini mungkin tak menyangka puluhan tahun kemudian seorang pemuda terinspirasi ulah mereka. Namanya Ahmad, 32 tahun, yang minta profesinya ditulis sebagai tukang tanya. Kala itu Ahmad masih kuliah di sebuah universitas di Bandung. Bersama seorang kawan ia masuk ke ruang dosen, melihat ada buku karangan Dr. Sun Yat Sen berjudul San Min Chui.

“Buku itu berdebu. Tampak tak pernah dibaca lagi,” ingatnya. Ringkasnya, buku berbahasa Inggris terbitan 1925 tentang perjuangan nasionalis Cina itu segera berpindah tangan.
“Sebetulnya tak ada niat ambil buku itu. Kebetulan saja lihat, eh ada nama Sun Yat Sen. Ini pasti buku penting.” Ia tahu, buku itu tak akan dikasih kalau diminta, dan kalaupun bisa dipinjam untuk difotokopi, ia juga tak ada uang untuk itu.
“Saya pengen meniru Chairil saja waktu itu. Mau tahu apa rasanya.” Takutkah ia kala itu?
“Pasti, tapi nama Sun Yat Sen membuat saya berani,” jawabnya nakal.

Feransis, 23 tahun, seorang mahasiswa di Bandung, punya cerita sendiri tentang pengalaman mencuri—mungkin lebih tepatnya: rutinitas mencuri. Sebagai spesialis pencuri komik dan buku anak bergambar, ia pernah mencuri banyak buku dalam satu rentang waktu.

“Saat itu saya sedang bermasalah,” Feransis memulai kisahnya. Pelampiasannya: pergi tiap hari ke beberapa toko buku di Bandung, hanya untuk mencuri.
“Awalnya tas saya kosong,” tulisnya di halaman percakapan Yahoo! Messenger, “pulang-pulang penuh.” Usai beraksi, iseng ia hitung hasil buruannya. Feransis baru sadar nilai rupiah buku-buku yang ia curi dalam beberapa hari itu mencapai lebih dari 1,5 juta!

Kisah lain datang dari Berto, 26 tahun. Mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta ini memilih rumah temannya dan perpustakaan kampus sebagai tempat buruan favoritnya. Namun pengalamannya mencuri buku justru berawal di sebuah pameran buku di Istora Senayan pada 2004. Dalam keadaan ramai pengunjung, buku karya Utuy Tatang Sontani menjadi sasarannya.

“Kebetulan penjualnya sedang melayani yang lain,” tuturnya. Pernah juga ia mencuri di Galeri Buku Bengkel Deklamasi milik dramawan Jose Rizal Manua di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
“Kumpulan puisi lama. Jakarta dalam Puisi, seingat saya,” ujarnya. Buku itu sekarang entah di mana. “Kebawa teman saya, kali.”

Demikianlah, bagi sebagian penggila buku, mencuri buku sudah tak terhindarkan lagi. Obsesi atas buku membuat mereka rela melakukan apa saja, termasuk mencuri. Motifnya beragam dan ada-ada saja. Mulai dari minimnya kemampuan kantung, demi keuntungan ekonomi, sampai bertingkah atas nama emosional: menyelamatkan buku, atau kebanggaan memilikinya lewat cara mencuri. Hasrat memiliki buku seringkali tak berbanding lurus dengan isi dompet.

“Pengen punya tapi nggak ada uang,” aku Feransis. Sulitnya menemukan suatu buku tertentu juga menjadi dalih mencuri. Alasan Ahmad malah sedikit berbumbu teori,
“Pertama, buku itu tak dibaca orang-orang; dan kedua, apa yang saya kerjakan ini juga untuk orang banyak.” Sebagai apologi atas aksi-aksi mereka, Berto malah berujar nyinyir,
“Daripada nggak dibaca kan?”

Asosiasi Pedagang Buku Antik Amerika, di situsnya (www.abba.org  (www.abba.org)) sampai perlu merumuskan lima kategori pencuri buku—mungkin saking bejibunnya pencuri buku berkeliaran. Yaitu:
(1) Kleptomania yang tak bisa menahan diri;
(2) Pencuri demi meraih keuntungan;
(3) Pencuri karena marah;
(4) Pencuri biasa; dan
(5) Pencuri untuk digunakan sendiri.

Asosiasi-asosiasi pedagang buku, selain bertujuan membangun jaringan bisnis, juga bisa dibaca lain: kerjasama meringkus pencuri buku. Ya, wajar saja karena di bumi ini pernah hidup orang-orang seperti John Gilkey dan William Jacques. Keduanya pencuri buku tenar. Incarannya tak sembarangan, yakni buku-buku kuno dan langka bernilai tinggi yang hanya ada di tempat-tempat prestisius di dunia.

Gilkey, asal Amerika, seorang penggila buku yang bekerja sebagai pegawai toko pakaian mewah. Salah satu modusnya, membeli buku memakai kartu kredit para pelanggan tokonya. Malam harinya, ketika toko buku yang dipesannya hendak tutup, ia datang berpura-pura sebagai pesuruh si pembeli buku. Meski berujung bui, Gilkey tak pernah kapok, dan aksinya malah membuatnya terkenal. Allison Hoover Bartlett, seorang jurnalis, membukukan kisah Gilkey dalam The Man Who Loved Books Too Much.

Di Inggris, William Jacques juga tak kalah gila. Dari Oktober 1996 hingga Mei 1999, sekitar 500 buku langka ia curi dari Cambridge Library, British Library, dan London Library. Buku-buku itu lalu dijual di berbagai rumah lelang di Inggris dan luar negeri, membuat ia lebih kaya ratusan ribu poundsterling. Karena sepak terjangnya, Jacques pernah dipenjara beberapa kali dan dijuluki Tome Rider.

Cerita-cerita tadi mengesankan betapa mereka yang berhasil mencuri dengan mulus pada pengalaman pertamanya cenderung ketagihan dan berlanjut pada aksi berikutnya. Feransis, pertama beraksi saat duduk di bangku SMP, mengiyakan ketagihannya. Ketika itu ia mencuri majalah. Selain karena perpustakaan sekolahnya sedang kosong, motifnya timbul lantaran gambar grup musik Kiss di sampul belakang.
Sementara Ahmad dengan dingin menjawab, “Nggak juga. Saya bukan maling.”

Sukses beraksi tak berarti rasa takut sudah lenyap dari diri mereka. Feransis mengaku ketakutan saat beraksi di pameran buku di Senayan yang ramai oleh pengunjung maupun penjaga. Meski demikian, ia tetap berhasil menggondol pulang komik Hell Boy karya Mike Mignola tiga edisi sekaligus: seri 3, 4, dan 5.

“Mau dilengkapi,” jelasnya. Seri 1 dan 2 sudah dimilikinya, hasil curian juga tentunya. Senada dengan itu, Ahmad, pernah mencuri di Perpustakaan Nasional di Jakarta, tak menyangkal kerap dilanda rasa takut kepergok. Tapi dengan jumawa ia berkata,
“Saya nggak berpikir kebanggaan dan semacamnya. Saya fokus di konten.”

Lalu adakah perasaan bersalah setelahnya?
“Semula ada,” jawab Ahmad, “tapi begitu melihat buku itu berdebu, tidak lagi (merasa bersalah). Artinya buku itu jarang dibaca.

”Feransis mengaku kadang-kadang merasa bersalah, “Tapi sering lupa juga.”

Sementara Berto, brengseknya, enteng saja menjawab,
”Ya’elah, satu buku doang di antara beribu buku!”

Maka, Bung, terhadap orang-orang macam Feransis, Berto, dan Ahmad—juga Gilkey dan Jacques— kita tidak usah marah atau mengutuknya. Cukup dengan berhati-hati, dan jauhkan mereka dari koleksi buku Anda. Atau salinlah deretan kalimat Lawrence S. Thompson di Notes On Bibliokleptomania berikut ini, di halaman terdepan setiap buku Anda:


Whoever steals this book
Will hang on a gallows in Paris,
And, if he isn’t hung, he’ll drown,
And, if he doesn’t drown, he’ll roast,
And, if he doesn’t roast, a worse end will befall him

#KMIV https://www.facebook.com/labibahaly +Labibah Zain
================================================
Judul asli: Kebrengsekan yang Saleh, Kesalehan yang Brengsek
Oleh       : Roy Thaniago   (roythaniago.wordpress.com)

Jumat, 09 Januari 2015

My Morning Jacket - Librarian

https://www.facebook.com/rina.j.rianty

Perjalanan Pagi


Semangat pagi menembus keramaian kota Surabaya diiringi alunan lembut raisa dan bersamamu teman hidupku menemani menuju rumah besi panjang stasiun gubeng...waktu masih pagi jam menunjukkan pukul 7.05 tapi hiruk pikuk stasiun seolah membuatku semakin bergairah mengingat satu tujuan menuntut ilmu...barakallah....apalagi kuliah siang ini di awali dosen favorit mata kuliah yg menarik Sistem Informasi Perpustakaan by mister Solihin Ari berlanjut jam kedua mata kuliah yang tak kalah menarik Kajian Internet dan Masyarakat Virtual dengan dosen bernama besar @Labibah yang menurut aku punya energi lebih besar dari tubuh mungilnya dan selalu memberikan inspirasi yg berdampak luar biasa dalam pengembangan perpustakaan di generasi menunduk!!!!....wow sungguh luar biasa sekali. Dikeramaian stasiun bener-bener generasi tablet dan dunia ada di jempol!!!! yang jauh Jd dekat yg dekat Jd tidak omong hahaha edaaann....kalau dulu duduk bersebelahan pasti ngobrol yang tidak penting misal mau kemana...Naik kereta apa...tinggal dimana...kesana ngapain....waahh...pertanyaan yang kadang bikin frustasi karena sebagai perempuan kadang risih kalau ditanya seperti itu dan dimindset harus pasang wajah jutek plus galau biar ga ditanya!!!! Bersyukurlah generasi sekarang...generasi menunduk tidak perlu repot-repot pasang wajah jutek karena tablet atau android telah menyelamatkannya!!!... Tapi pertanyaannya adalah....sampai kapan kamu akan menjadi generasi menunduk dan tidak peka terhadap sekitar...nah itu juga pr buat kita sebagai orangtua terhadap anak-anak kita.. Selamat pagi semuanya..http://www.facebook.com./labibahaly #KIMV +Labibah Zain

Kamis, 08 Januari 2015

5 Perpustakaan Paling Aneh Di Dunia -

Sejauh ini dalam pikiranmu mungkin perpustakaan adalah sebuah tempat yang sangat resmi dan hanya berada di lingkungan pendidikan. Yap, sebagai tempat yang lazimnya menyimpan ratusan sampai ribuan buku, perpustakaan memang menjadi sebuah tempat untuk mencari ilmu. Namun ungkapan bahwa ilmu belajar bisa dilakukan di mana saja sepertinya memang benar-benar berlaku.


Ya, beberapa kawasan di dunia ini bahkan rela membangun perpustakaan yang unik dan lepas dari pakem perpustakaan harus di instansi pendidikan. misalnya adalah membangun perpustakaan di pantai, di mana mayoritas orang-orang berjemur di bawah sinar matahari. Berikut adalah 5 Perpustakaan Paling Aneh Di Dunia seperti yang Dilansir Oddee.com :


1. Di Kotak Telepon Umum



Saat jaringan telekomunikasi British Telecom ingin menggusur box telepon umum mereka yang sangat ikonik itu, para penduduk di bagian selatan Inggris yakni desa kecil bernama Westbury-sub-Mendip langsung beraksi. Mereka rupanya tidak ingin kehilangan kotak berwarna merah yang sangat khas itu. Untuk melancarkan aksinya, para penduduk membangun sebuah perpustakaan terkecil di sana yang seluruh buku dan majalahnya disediakan oleh para sukarelawan.


Bahkan perpustakaan Westbury-sub-Mendip buka untuk 24 jam dengan sebuah lampu kecil di dalamnya. Ada sekitar 100 buku, beberapa keping CD dan DVD yang membuatnya cukup lengkap. Buku-buku yang sudah sering dibaca dan mulai tidak rapi akan diganti dengan cara amal pula. Sungguh, apakah setiap desa dan kota di dunia bisa memiliki perpustakaan seimut ini?.


2. Tank Penuh Buku



Seorang seniman sekaligus aktivis Raul Lemesoff, membangun sebuah karya seni bernama Arma De Instruccion Masiva atau Senjata Pengatur Massa. Mungkin terdengar mengerikan. Namun tahukah kamu seperti apa bentuk senjata itu? Rupanya sebuah tank yang berisi penuh dengan buku. Ada sekitar 900 buku yang ditata sedemikian rupa oleh Raul sehingga menutupi hampir seluruh bodi tank. Seluruh buku itu didapatkan Raul dari sumbangan sukarela. Alasan Raulmembuat karya seni ini adalah dia ingin memberikan kedamaian lewat sebuah bacaan.


3. Lucu di Luar Ruangan




Jika biasanya perpustakaan terletak di dalam gedung yang megah dan besar, maka akan terasa sangat berbeda jika kamu berkunjung ke Ghent, salah satu kota di Belgia sana. Karena di Ghent, dibangun sebuah perpustakaan besar yang tidak berdinding alias ada di outdoor. Perpustakaan bernama Bookyard ini adalah karya seorang seniman Italia, Massimo Bartolini pada tahun 2012 silam. Bartolini mendesain sekaligus membangun dua belas rak berukuran besar dan panjangdi kebun St Peter's Abbey. Uniknya, kamu bisa memilih-milih buku sembari melihat pemandangan yang serba hijau.


4. Perpustakaan Bisa Jalan



Bagaimana jadinya jika orang-orang di kawasan pedesaan dan perbukitan ingin membaca buku ke perpustakaan? Tentu saja tak semua bisa terjadi. Karena kebanyakan perpustakaan memang dibangun di lokasi-lokasi padat penduduk dan lebih di area perkotaan.Namun rupanya Universitas Valle del Momboy ingin mengubah pemikiran itu. Pada tahun 2009, kampus tersebut mencoba menerapkan konsep perpustakaan unik yang tak biasa.


Di mana perpustakaan bergerak itu sengaja diterapkan di kawasan pegunungan Trujillo. Tunggu, perpustakaan bergerak? Ya, karena buku-buku yang ada rupanya dipasang di semacam etalase plastik yang diletakkan di punggung seekor kudaatau bagal. Pernah dengar bagal? Itu adalah hewan yang merupakan keturunan silang kuda betina dan keledai jantan yang mandul.


5. Datang Pakai Bikini



Apa yang kamu ingat dari pantai, Tentu saja hamparan pasir putih dan ombak serta perpustakaan. Hah, perpustakaan? Ya, apa yang kamu baca ini benar. Memang sih pasir, ombak dan perpustakaan adalah kata yang tak mungkin bisa bergabung. Namun bagi Herman Kompernas, semuanya bisa disatukan. Herman rupanya membangun sebuah perpustakaan luar ruangan di pantai pasir Black Sea di Bulgaria yang menjadi bagian dari resort Albena.


Tak tanggung-tanggung, rak-rak buku itu sengaja dibangun di dekat hamparan pasir pantai dan memiliki koleksi lebih dari 2.500 buku dalam 10 bahasa berbeda. Untuk meminjam buku di perpustakaan ini pun gratis. 

Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Karya Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed


By: Rina J. R

Pendahuluan
Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi sebagai akibat dari gelombang globalisasi, sesungguhnya merupakan peluang bagi pendidikan di pesantren untuk mengembangkan dirinya secara lebih baik. Pesantren dituntut untuk mampu menghadapi kondisi ini dengan berbagai persiapan dan kemampuan yang dimiliki. Globalisasi menghadirkan sejumlah peluang dan tantangan yang sepenuhnya diserahkan kepada manusia untuk menyikapinya. Di sinilah kemampuan dan strategi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dipertaruhkan, apakah ia mampu mengambil peluang tersebut untuk kebaikannya ataukah ia malah terjebak dan bahkan kalah dari tantangan yang dihadapi.

Pendataan Pondok Pesantren tahun 2011-2012 berhasil mendata 27.230 Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.[1]  Sedangkan jumlah sekolah umum (SD,SMP, SMA) baik negeri maupun swasta di Indonesia berjumlah 182.538.[2] Dari perbandingan ini berarti jumlah pesantren adalah 14,9 % dari jumlah sekolah umum.

Kajian terhadap pesantren sering dilakukan oleh para ahli, karena nuansa-nuansa yang dilaksanakan dalam pesantren sangat unik. Tidak sedikit para ahli mengeritik atau juga melihat segi positifnya. Salah satunya yaitu pesantren sebagai komonitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya diberbagai pelosok tanah air. Namun kritiknya adalah Pesantren sering dianggap kurang mampu menghadapi tantangan pembangunan dan kurang mampu merespons kebutuhan kaum muda. Meraka dalam keadaan bingung; mereka lebih tertarik masuk ke pendidikan umum  yang dapat menjanjikan lapangan kerja, tetapi  mereka masih tetap menaruh  harapan kepada pesantren yang dapat menjanjikan moral  yang sangat diperlukan  dalam mengarungi kehidupan modern.

Biasanya yang membedakan kajian tersebut adalah Obyek, lokasi dan permasalahan yang diangkat. Salah satu intelektual Islam yang telah lama mengangkat permasalahan dunia pesantren adalah  Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed. dengan kajian yang berjudul  Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren sebagai hasil kerja sama Studi Islam Indonesia-Belanda (Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies-INIS), pada tahun 1994.

INIS sendiri didirikan sekitar tahun 1969, ketika kelompok pertama dari 17 dosen Universitas Islam Negeri Indonesia (Institut Agama Islam Negeri / IAIN) datang ke Belanda untuk memperluas dimensi pengetahuan mereka tentang studi Islam dengan memanfaatkan arsip, naskah, dan sumber daya yang ada di perpustakaan negeri Belanda.[3]

Pada kajian yang dilakukan tampak bahwa Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed, amat menyelami problema dan dinamika sistem pendidikan pesantren. Ada enam pesantren yang menjadi  objek kajian beliau, yaitu: Pondok Pesantren (PP) An-Nuqoyah desa Guluk-guluk, Kecamatan Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep, Madura; Pondok Pesantren (PP) Salafiah Ibrahimiyah di desa Sokorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo; Pondok Pesantren (PP) Blok Agung, desa Agung, Kecamatan Jajak, Kabupaten Banyu wangi; Pondok Pesantren Tebu Ireng, di desa Tebu Ireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang; Pondok Pesantren Karangasem Muhammadiyah Pacitan, di desa Lamongan dan Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponoroga,

Pada awalnya pesantren diselenggarakan untuk mendidik santri agar menjadi taat menjalankan agamanya dan berakhlak mulia. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, santri dituntut memiliki kejelasan profesi. Maka banyak pesantren yang membuka pendidikan kejuruan dan umum dari sekolah, madrasah bahkan perguruan tinggi.[4]

Dari kajian yang termuat pada buku ini kita bisa mengetahui kelebihan dan kekurangan yang ada pada system pendidikan pesantren. Namun terhadap kekurangan yang ditemukan maka pada bagian akhir kajiannya  Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed. memberikan penawaran pada bagian saran di akhir kajiannya, yang dapat menjadi rekomendasi bagi penyelenggaraan system pendidikan pesantren di Indonesia, yaitu : pesantren perlu mengadopsi dan mengembangkan wawasan berfikir keilmuan dari Sistem Pendidikan Nasional, dengan menerapkan metode berfikir: a) Deduktif, b) Indikatif, c) kausalitas,dan  d) kritis.

Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren
Istilah pondok pesantren yang telah melembaga di Indonesia ini menurut Manfred Ziemek; pondok berasal dari kata funduq yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana. Sedangkan pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat para santri.[5] Selanjutnya Manfred Ziemek mengatakan bahwa: Pesantren secara ethimologis asalnya pesantrian yang berarti tempat santri. Santri atau murid (umumnya) sangat berbeda-beda mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren (Kyai) dan oleh para guru (ulam dan ustadz), pelajaran mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam.[6]

Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau. [7]
Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.  Sebagai suatu komunitas tersendiri, di mana kiai, ustadz, santri dan pengurus pondok pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya. Pondok Pesantren juga merupakan suatu keluarga yang besar dibawah binaan seorang kyai atau ulama di bantu oleh ustadz, semua rambu-rambu yang mengatur kegiatan dan batas-batas perbuatan : halal-haram, wajib-sunnah, baik-buruk dan sebagainya itu berangkat dari hukum agama islam dan semua kegiatan dipandang dan dilaksanakan sebagai bagian dari ibadah keagamaan, dengan kata lain semua kegiatan dan aktivitas kehidupan selalu dipandang dengan hukum agama Islam. pondok pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral/perilaku bagi masyarakat umum.

Dalam kajiannya digambarkan oleh Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed., pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Secara historical selama ini pendidikan pesantren telah terbukti mampu menampilkan diri sebagai institusi yang tetap eksis dalam menghadapi segala bentuk dinamika perubahan sosial dengan dua karakter utama budaya pendidikannya yaitu:[8]
1. Karakter budaya yang memungkinkan santri belajar secara tuntas, tidak hanya terbatas pada transfer ilmu-ilmu pengetahuan, akan tetapi juga aspek pembentukan kepribadian secara menyeluruh.
2. Kuatnya partisipasi masyarakat. Oleh karena itu sangatlah wajar sekiranya pesantren kemudian banyak dirujuk, paling tidak pada awal masa pasca kemerdekaan, untuk dijadikan sebagai acuan alternatif dalam menghadapi kebuntuan upaya merumuskan sistem perguruan nasional yang tidak tercerabut dari akar historis ke-Indonesiaan dan juga tidak berkurang efisiensi dan efektifitasnya.

Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed.  menjelaskan beberapa tehnik didasarkan pada system proses belajar secara monologis. Tehnik pengajaran yang diberikan pada jenis pendidikan pesantren adalah sorogan dan bandongan. Kedua teknik belajar ini sangat popular sehingga menjadi ciri khas pesantren. Sorogan adalah pelajaran yang diberikan secara individual. Kata sorogan berasal dari bahasa jawa sorog yang berati menyodorkan. Seorang santri menyodorkan kitabnya kepada seorang kyai untuk meminta diajari. Oleh karena sifatnya pribadi, santri harus menyiapkan diri sebelumnya mengenai apa yang akan diajarkan kyai.

Tehnik sorogan telah terbukti efektif sebagai langkah pertama bagi seorang murid yang bercta-cita menjadi seorang alim. Tehnik ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai literatur Arab. Bandongan adalah pelajaran yang diberikan secara berkelompok. Kata bandongan berasal dari bahasa jawa yang berarti berbondong-bondong secara kelompok. Tehnik bandongan disebut juga tehnik wetonan, yaitu metode kuliah dimana santri mengikiti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran.
Dalam tehnik bandongan, seorang tidak harus menunjukkan ia mengerti tentang kitab yang sedang dipelajari. Para kyai biasanya membaca dan menerjemahkan arti secara cepat dan tidak menerjemahkan kata-kata yang mudah. Dengan cara tersebut seorang kyai dapat menyelesaikan kitab-kitabnya dengan cepat. Tehnik bandongan ini dimaksudkan untuk santri menengah dan tingi yang sudah mengikuti tehnik sorogan secara intensif.[9]  

Selain kedua metode tersebut, Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed menyebut hapalan dan halaqah. Dalam perkembangannya sistem madrasah dan klasikal diterapkan untuk mempermudah proses pembelajaran sebagai pengembangan dan pembaruan pengajian model sorogan dan weton.

Halaqoh adalah belajar bersama secara diskusi untuk mencocokkan pemahaman tentang arti terjemah dari isi kitab. Jadi bukan mendiskusikan isi kitab dan terjemahnya yang diberikan oleh kyai itu benar atau salah. Maka yang didiskusikan untuk mengetahui pertanyaan “apa” bukan pertanyaan “mengapa” Lalaran adalah belajar sendiri dengan jalan menghafal; biasanya dilakukan diman saja; baik di dekat makam, masjid, atau kamar.  Lalaran ini dapat juga disebut tehnik hafalan yaitu santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang di pelajarinya, materi hafalan biasanya berbentuk nazham. Tehnik-tehnik belajar tersebut berdasarkan pada keyakinan bahwa kitab yang diajarkan adalah benar dan kyai atau uztad tidak mungkin megajarkan sesuatu yang keliru dan menyesatkan; jadi sifatnya mekanis, terus menerus dan secara berurutan (tidak melompat-lompat).[10]

Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed juga menggambarkan tentang metode dan sistem pendidikan pada pondok pesantren, ternyata tidak hanya berkutik pada metode-metode tradisional saja, akan tetapi pendidikan di pondok pesantren juga telah menggunakan berbagai metode-metode yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lembaga pendidikan tersebut, dengan demikian pendidikan pondok pesantren tidak lagi dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan yang kuno, bahkan pendidikan yang telah berkembang pada saat ini banyak yang menggunakan sistem yang digunakan dalam pondok pesantren.
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu:
1.    Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri
2.    Kurikulum pondok pesantren
3.    Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan.

Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Pondok pesantren" yaitu:
1.       Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
2.       Pengembangan keilmuan yang bermanfaat.
3.       Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan  dan  penjelasan  pasal-pasal  dalam  Undang-udang  Sisdiknas Berikut:

Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.

Penjelasan pada Undang-udang  Sisdiknas di atas menunjukkan bahwa system pendidikan pesantren dan system pendidikan nasional memiliki kesamaan tujuan. Hanya saja system pelaksanannya terdapat perbedaan. Berikut perbedaan antara keduanya:[11]
A.  Sekolah Umum
Kelebihan Sekolah Umum :
1. Kurikulum
a.       Memiliki kurikulum tetap dan mengikuti perkembangan serta menyesuaikan dengan standar pendidikan Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
b.       Memiliki buku ajar yang permanent untuk proses belajar mengajar yang efektif.
c.       Satuan Pelajaran yang sudah ditetapka menjadi acuan dalam proses belajar mengajar
     2. Metode Pengajaran
a.       ceramah, bermain, praktikum, Tanya jawab dan lain-lain yang disesuaikan dengan bidang studinya. 
b.       Ada sebagian sekolah mengadakan kegiatan belajar mengajar tidak di dalam kelas namun juga di luar ruang kelas.

Kekurangan Sekolah Umum
1. Kurikulum
a.       Harus selalu mengikuti perkembangan yang disampaikan oleh pemerintah.
b.       Kebanyakan tenaga pendidik merasa kewalahan terhadap perubahan kurikulum yang dilakukan pemerintah
2. Metode Pengajaran
a.       Bangunan Sumber Daya Manusia dalam mengajar kurang maksimal.
b.       Kebanyakan tenaga pendidik enggan melakukan berbagai pendekatan dalam proses belajar mengajar.

B.  Pesantren
Kelebihan Pesantren
1.        Kurikulum
a.       Pesantren mampu membuat dan menentukan kurikulum sendiri tanpa mengikuti standar pendidikan yang ditentukan oleh pemerintah.
b.       Pesantren mampu memberikan nilai lebih dalam proses belajar mengajar dengan pendekatan keilmuan yang dibutuhkan pesert didik
2.       Metode Pengajaran
a.       Mampu mengembangkan metode-metode baru dalam menanamkan konsep maupun mempraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari.
b.       Peserta didik dapat belajar langsung dari pengalaman yang timbul sehari-hari dan menanyakan (studi) kasus secara langsung  dengan dewan guru (ustadz / ustadzah)yang bersangkutan.
c.       Proses belajar mengajar dilakukan 24 jam sehari semalam, sehingga kekurangan yang terjadi akan tertanggulangi secara langsung
Kekurangan Pesantren
1.        Kurikulum
a.       Kurikulum selalu berubah tanpa ada pemberitahuan, dan sekehendak kyai
b.       Tidak adanya standar tetap keberhasilan seorang santri dikatakan telah lulus atau tamat menempuh pendidikan pesantren
2.      Metode Pengajaran
a.       Aktifitas santri untuk bertanya kurang
b.       Santri terlalu difokuskan pada hafalan dan konsep-konsep pada setiap mata pelajaran, sehingga sebagian santri cepat bosan dengan metode tersebut.

Secara Garis besar, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmad pada masyarakat dengan jalan menjadi kaula atau abdi masyarakat atau rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana pribadi Nabi Muhammad (mengikuti sunah nabi), mempu berdiri sendiri, bebas dan tangguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat islam ditengah-tengah umat masyarakat (‘zzul Islam wal Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
Menurut Hasan Basri, sekurang-kurangnya pesantren dibedakan menjadi tiga corak yaitu:[12]
1.  Pesantren tradisional
Pesantren tradisional yaitu pesantren yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya, manajemen (pengelolaan) pendidikannya masih sepenuhnya berada pada seorang kyai, dan kyai sebagai satu-satunya sumber belajar dan pemimpin tunggal serta menjadi otoritas tertinggi di lingkungan pesantrennya.[13]
2.  Pesantren transisional
Pesantren transisional, pesantren ini ditandai dengan adanya porsi adaptasi pada nilai-nilai baru (sistem pendidikan modern). Dalam manajemen dan administrasi sudah mulai ditata secara modern meskipun sistem tradisionalnya masih dipertahankan seperti pimpinan masih berporos pada keturunan, wewenang dan kebijakan dipegang oleh kyai karismatik dan lain sebagainya. Dari segi kelembagaan sudah mulai ada yang mengelola atau mengurus melalui kesepakatan bersama dan kyai sudah membebaskan santri untuk memberikan pendapat. Pada umumnya pesantren ini tidak terdapat perencanaan-perencanaan yang tepat dan tidak mempunyai rencana induk pengembangan pasantren untuk jangka pendek maupun jangka panjang.[14]
3.  Pesantren modern.
Pesantren telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sitem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Pesantren ini telah dikelola dengan manajemen dan administrasi yang sangat rapi dan sistem pengajarannya dilaksanakan dengan porsi yang sama antara pendidikan agama dan pendidikan umum, dan penguasaan bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Adapun kelemahan mendasar yang umum terjadi pada system pesantren adalah lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren. Agaknya tidak banyak pesantren yang mampu secara sadar merumuskan tujuan pendidikannya dan menuangkannya dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Mungkin kebutuhan terhadap ini relatif baru. Tidak adanya rumusan ini disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan pesantren diserahkan pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh kiai atau bersama-sama para pembantunya secara intuitif yang disesuaikan dengan perkembangan pesantrennya. Seorang kiai memang mempunyai peran multifungsi dalam sistem pendidikan di pesantren: sebagai guru, Muballig, sekaligus menajer.[15] Malah pada dasarnya memang pesantren itu sendiri dalam semangatnya adalah pancaran kepribadian pendirinya. Maka tidak heran bila timbul anggapan bahwa hampir semua pesantren itu merupakan hasil usaha pribadi atau individual.

Disebutkan oleh Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed. beberapa kelemahan yang ada di pesantren, dilihat dari paradigm modernisme sebagai berikut :
1)     Dunia pesantren memandang bahwa ilmu adalah hal yang sudah final dan mapan, serta dapat diperoleh melalui konsep berkah kiai.
2)     Para santri yang ada di pesantren melihat bahwa ilmu atau apa saja yang diajarkan oleh kiai, ustadz dan kitab-kitab agama harus diterima sebagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Pandangan yang demikian pada gilirannya membawa kepada keadaan di mana kiai kurang kritis.
3)     Dunia pesantren memandang bahwa kehidupan ukhrawi jauh lebih penting daripada kehidupan duniawi. Akibatnya mereka kurang memperhatikan hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan kesuksesan hidup di dunia. Ilmu pengetahuan, teknologi modern, dan etos kerja yang progresif kurang mendapat tempat di lingkungan pesantren.
4)     Dunia pesantren masih cenderung menerapkan metode belajar dengan sistem hapalan, tanpa disertai dengan pengembangan wawasan, penalaran, dan kemampuan berfikir sistematik dan kritis. Akibatnya mereka hanya menjadi konsumen ilmu yang terkadang kurang relevan dengan zaman, dan tidak berani tampil sebagai produsen ilmu.
5)     Adanya keharusan patuh dan tunduk secara mutlak kepada guru serta pada kehidupan kolektif, menyebabkan terjadinya hambatan bagi perkembangan individualitas (jati diri) dan menghambat timbulnya berfikir kritis.
6)     Adanya pandangan hidup fatalistis yang menyerahkan nasib kepada keadaan dan perilaku sacral dalam menghadapi berbagai realitas kehidupan keduniaan sehari-hari, menyebabkan para santri tidak memiliki etos kerja dinamis dan progresif yang diperlukan dalam menghadapi persaingan di era global.

Selanjutnya Nurcholis Madjid dalam analisisnya menyatakan bahwa kesenjangan pesantren dengan modernisasi paling tidak dipicu oleh enam hal yang pada umumnya masih menandai kondisi objektif pesantren, yaitu:[16]
1.       Lingkungan. Tata lingkungan pesantren pada umumnya merupakan hasil partumbuhan dan pembangunan yang tidak terencana, sporadis, dan tidak memadai baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.
2.       Penghuni/santri. Adanya diskrepansi yang ditunjukkan para santri jika dibandingkan dengan komunitas luar baik menyangkut pakaian, kesehatan, maupun tingkah laku.
3.       Kurikulum. Dalam dunia pesantren, pengajaran pengetahuan umum yang masih setengah-setengah, dominannya ilmu-ilmu keagamaan, sistem pengajaran yang kurang efisien, dan intelektualisme–verbalisme yang eksesif karena berorientasi pada penalaran produktif, bahkan cenderung menimbulkan dogmatisme dan prinsipalisme.
4.       Kepemimpinan. Terdapat tolok ukur tertentu dalam kepemimpinan pesantren, yaitu kharisma, personal, religio–feodalisme, dan kurang mementingkan kecakapan teknis.
5.       Alumni. Para alumni pesantren pada umumnya hanya cocok untuk jenis masyarakat “tradisional” dan kecenderungan mereka bersikap reaktif–agresif terhadap dunia luar, sehingga tidak akan sanggup bersaing dalam kehidupan modern.
6.       Kesederhanaan. Walaupun kesederhanaan memang diakui melekat dengan pesantren,hal ini masih belum mendapatkan penekanan khusus dalam kurikulumnya dan belum mendapatkan pengarahan dalam penjiwaannya.



Rumusan Masalah
Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed dalam kajiannya membuat ruang lingkup batasan permasalahan  sebagai berikut:[17]
1)     Apa unsur-unsur yang terdapat di dalam sistem pendidikan pesantren? Apa saja yang perlu dikembangkan lebih lanjut, apa yang tidak perlu dipertahankan, dan mana yang perlu diubah dan disempurnakan atau diperbaiki lebih dulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional?
2)     Apa nilai-nilai luhur yang dikandung dalam unsur-unsur tersebut? Manakah di antaranya yang perlu dikembangkan lebih lanjut, yang tidak perlu dipertahankan, dan yang perlu diperbaiki lebih dulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional?
3)     Bagaimanakah perspektif atau dinamika sistem pendidikan pesantren dalam menghadapi tantangan jaman, yaitu kebutuhan pembangunan nasional lengkap dengan kemajuan ilmu dan teknologi? Apa kemungkinan bentuk-bentuk pendidikan pesantren yang akan terjadi di masa depan sehubungan dengan tantangan jamannya tersebut?

Dari ruang lingkup permasalahan di atas,  Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed menetapkan garis kajiannya kearah sebagai berikut :[18]
1)     Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang kiranya perlu dikembangkan dalam system pendidikan nasional, yang kemudian disebut butir positif.
2)     Mencari butir-butir system pendidikan pesantren yang kiranya sudah tidak perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dan perspektif pesantren di masa depan karena sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan jamannya. Inilah yang disebut butir negatif.
3)     Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang sekiranya perlu diperbaiki terlebih dahulu, sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dan sistem pendidikan pesantren dalam menyongsong masa depan. Untuk selanjutnya disebut dengan butir-butir plus-minus.
4)     Mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk pendidikan pesantren yang akan terjadi sehubungan dengan tantangan jaman.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed memaparkan alasan dilakukan penelitiannya dalam bagian tujuan dan kegunaan  penelitian ini. Adapun tujuan penelitian  adalah sebagai berikut :
1. Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang kiranya perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional, yang selanjutnya disebut butir-butir positif.
2. Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang kiranya sudah tidak perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dan perspektif pesantren di masa depan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan zamannya, yang selanjutnya disebut butir-butir negative.
3. Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang sekiranya perlu diperbaiki lebih dulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dan sistem pendidikan pesantren dalam menyongsong masa depannya, yang selanjutnya disebut butir-butir plus minus.
4. Mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk-bentuk pendidikan pesantren yang akan terjadi sehubungan dengan tantangan zamannya.

Sedangkan  kegunaan penelitian yang dilakukan Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed antara lain :
1.   Untuk memperkenalkan dunia pesantren sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa dalam bidang pendidikan.
2.  Untuk mengintegrasikan pesantren sebagai salah satu sumber pendidikan moral ke dalam sistem pendidikan umum atau nasional untuk mengimbangi pendidikan ilmu pengetahuan atau akal.
3.  Untuk menggali lebih mendalam model pendekatan dengan bahasa agama dan dengan gaya kepemimpinan karismatik yang dipergunakan dalam mengajak umatnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan sebagai pengamalan agamanya.
4.  Untuk memperoleh bahan pemikiran untuk mengantisipasi bentuk pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya dan pesantren pada khususnya di masa depan sesuai dengan tantangan zaman.

Sistematika Pembahasan
Hasil kajian dalam buku ini di sajikan sekaligus dianalisa dalam beberapa pokok bahasan yang terbagi atas 5 bab, sebagai berikut :
·         Bab I, Pendahuluan.
·         Bab II, Tinjauan Pustaka, berisi pembahasan tentang manusia dan kehidupan, sistem pendidikan dengan dua sub bahasan yaitu aliran-aliran pendidikan dan unsur-unsur sistem pendidikan; dan system pendidikan pesantren dengan subbahasan aliran-aliran pendidikan pesantren, kehadiran pesantren ditengah-tengah kehidupan masyarakat, unsur-unsur pendidikan pesantren dan nilai-nilai system pendidikan pesantren.
·         Bab III, Kerangka dan Metode, berisi pembahasan tentang kerangka pemikiran, syarat-syarat pendekatan ilmiah, pendekatan sosiologis-antropologis dan fenomenologis-interaksi simbol, grounded research, ruang lingkup penelitian, dan teknik penyajian hasil.
·         Bab IV, Hasil dan Pembahasan, berisi pembahasan tentang gambaran umum pesantren dengan sub bahasan arti pesantren, tujuan pesantren, masyarakat pesantren, unsur-unsur pesantren, nilai pesantren, pendekatan pesantren, fungsi pesantren, metodik-didaktik pengajaran pesantren, prinsip-prinsip sistem pendidikan pesantren dan tantangan pesantren masa depan; Gambaran khusus pesantren: berisi unsur-unsur sistem pendidikan pesantren dengan subbahasan meliputi tujuan, filsafat dan tata nilai, struktur organisasi pesantren, lingkungan kehidupan pesantren, kiai dan ustadz, santri, pengurus, interaksi pelaku, kurikulum dan sumber belajar, proses belajar-mengajar dan evaluasi, pengelolaan dan dana, sarana dan alat-alat pendidikan; Dinamika sistem pendidikan pesantren: perspektif bentuk pendidikan pesantren di masa depan; dan rekapitulasi deskripsi hasil temuan penelitian.
·         Bab V. Kesimpulan dan Saran.
Metode Penelitian
Metode  yang dipakai dalam melakukan kajian ini adalah metode analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Pada Kualitatif, data-data didapat dengan metode interview, observasi, dan metode angket. Untuk analisis kuantitatif digunakan pada data yang diperoleh dari angket, oleh karenanya dipergunakan analisis dengan statistik.

Konsep pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan sosiologis-antropologis dan pendekatan fenomenologis-interaksi simbol.[19]  Dijelaskan oleh Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed bahwa pendekatan ini digunakan untuk menembus tabir rahasia nilai-nilai kehidupan pesantren karena nilai-nilai kehidupan pesantren itu tersembunyi di balik fenomena-fenomena dan simbol-simbol yang dipergunakan.[20]

Penutup
Berdasarkan hasil kajiannya Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed menyimpulkan sebagai berikut.[21]
1)     Menurut pandangan pesantren bahwa manusia dilahirkan menurut fitrahnya masing-masing. Dalam hubungan ini, tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan daya-daya positif (Ilahiyah) dan mencegah timbulnya daya-daya negatif (syaithaniyah).
2)     Dunia pesantren menilai bahwa melaksanakan usaha pendidikan adalah merupakan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, di dalam menjalankan usaha pendidikan (belajar-mengajar) seyogyanya dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha Allah.
3)     Dunia pesantren amat menekankan adanya hubungan baik antara murid dan guru. Hubungan ini didasarkan pada pandangan bahwa murid tidak akan menjadi orang baik dan pandai tanpa guru, dan guru dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada pelaksanaan amanah dari Tuhan.
4)     Dunia pesantren memandang bahwa bekerja di pesantren harus dipandang tenpat mencari ilmu dan mengabdi, dan bukan semata-mata tempat mencari rezeki.
5)     Dunia pesantren melihat bahwa metode belajar halaqah dan sorongan dapat disesuaikan dengan keadaan zaman.
6)     Dunia pesantren melihat bahwa pendidikan yang dilengkapi dengan sistem asrama yang dilakukan atas dasar: bahwa pandangan dalam hak, orang sebaliknya mendahulukan hak orang lain daripada haknya sendiri, tetapi dalam hal kewajiban, orang sebaiknya mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain serta didasarkan pada keteladanan dan berlomba dalam kebajikan dalam hal mengamalkan ajaran agama dalam hidup keseharian di pesantren.
7)     Dunia pesantren memiliki pandangan hidup jangka panjang dan menyeluruh. Yaitu, bagi orang yang benar-benar percaya kepada Tuhan, maka ia bersikap optimis dalam menjalani kehidupan. Ia tidak akan putus asa jika menerima musibah, dan sebaliknya ia juga tidak akan lupa daratan jika memperoleh keuntungan. Hal yang demikian didasarkan pada pandangan bahwa setiap peristiwa dipandang belum final dan semua pada akhirnya akan kembali ke kebenaran Tuhan, sekalipun pada waktu itu ia belum mengerti.

Selanjutnya  Prof. Dr. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, M.Ed menutup kajiannya dengan memberikan
saran-saran sebagai berikut.[22]
1)     Pesantren harus melakukan pengembangan dan pembaharuan terhadap pemikiran dalam memahami ajaran Islam, antara lain dengan mengembangkan teologi yang bercorak rasional melalui pengajaran filsafat dan penerapan metode dialog.
2)     Kedua, pesantren perlu mengadopsi dan mengembangkan wawasan berfikir keilmuan dari Sistem Pendidikan Nasional, yaitu dengan menerapkan metode berfikir: a) Deduktif, b) Indikatif, c) kausalitas,dan  d) kritis. Hal ini amat penting artinya jika kita ingin memanfaatkan pesantren sebagai sarana kelembagaan penyuluhan pembangunan nasional secara efektif dan efisien, untuk menyempurnakan pendekatan melalui bahasa agama sebagaimana selama ini digunakan oleh pesantren di dalam  mangajak umat Islam melaksanakan kewajiban sosial keagamaan.
3)     Dalam rangka , mengembangkan identitas pesantren dalam zaman modern ini, maka dalam mempelajari ilmu pengetahuan dan tekbologi, seharusnya pesantren tidak mengambil ilmu-ilmu pengetahuan yang hanya bersumber pada hukum alam, tetapi harus bersumber pada sunatullah.
4)     Pesantren perlu mengembangkan konsep dan wawasan baru mengenai asrama sebagai salah satu ciri khasnya yang lebih kreatif dan inovatif, sehingga mampu mengembangkan ilmu-ilmu yang diasuhnya.
5)     Pesantren perlu menjadikan dirinya sebagai pusat studi pembaharuan tarekat.
6)     Perlu adanya kelompok ahli yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga-lembaga ilmiah lainnya untuk membantu pesantren di dalam mengembangkan wawasan berfikir rasional dan ilmiah.
Dari uraian di atas, maka dapat diambil point penting bahwa model kajian pesantren yang dilakukan oleh Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed dapat dijadikan sebagai salah satu model alternatif dalam melakukan kajian pesantren.  Di samping itu, model kajian Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed ini dapat dijadikan sebagai acuan model rekonstruksi paradigmatik pendidikan pesantren serta acuan model bagi upaya mereformulasi jenis dan model kelembagaan dan pengelolaan pesantren masa depan yang siap menerima tantangan globalisasi.

Daftar Pustaka

Farchan dan syarifudin, Titik Tengkar Pesantren Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren ,Yogyakarta : Pilar Religi, 2005.
Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies-INIS, http:  www.iias.nl / iiasn / iiasn3 / soueasia/inis.txt,  tanggal 30 Oktober, pukul 23.15 WIb.
Hasan Basri, Pesantren: Karakteristik Dan Unsure-Unsur Kelembagaan, dalam Abuddin Nata (eds), Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1986
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008.
Pesantren, Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren, tanggal 28 Oktober  2013, pukul 21.16.
http://pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf




[1] http://pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/pontrenanalisis.pdf
[3] Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies-INIS, http: // www.iias.nl / iiasn / iiasn3 / soueasia/inis.txt,  tanggal 30 Oktober, pukul 23.15 WIb
[4] Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994,  hlm. 136.
[5] Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1986, hlm. 99.
[6] Ibid, hlm. 16
[7] Pesantren, Wikipedia,  http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren, tanggal 28 Oktober  2013, pukul 21.16.
[8] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008, hlm. 168.
[9] Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed Op.Cit., hlm. 61.
[10] Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed, Op. Cit. hlm., 143
[12] Hasan Basri, Pesantren: Karakteristik Dan Unsure-Unsur Kelembagaan, dalam Abuddin Nata (eds), Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001, hlm. 124

[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm. 108.
[15] Farchan dan syarifudin, Titik Tengkar Pesantren Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren ,Yogyakarta : Pilar Religi, 2005, hlm 68-69.
[16] Mahmud Arif, Op.cit., hlm. 169-170.
[17] Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed., Op.cit., hlm. 5
[18] Ibid.,hlm. 5-6
[19] Ibid., hlm. 44.
[20] Ibid.
[21] Ibid., hlm. 161.
[22] Ibid., hlm. 163-164.